Tuesday, 14 May 2019

Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa


Hasil gambar untuk Perkara-perkara yang Membatalkan PuasaPerkara yang membatalkan puasa terbagi menjadi dua:
1.       Perkara yang membatalkan pahala puasa meskipun puasanya sah sehingga tidak wajib mengqodho’. Bagian ini disebut al-muhbithot (hal-hal yang membatalkan pahala).
2.       Perkara yang membatalkan puasa begitu juga pahalanya (jika tanpa udzur) sehingga wajib mengqodho’. Bagian ini disebut dengan al-mufthirot (hal-hal yang membatalkan puasa).

Bagian Pertama: Al-Muhbithot
Yaitu hal-hal yang membatalkan pahala puasa. Nabi Muchammad SAW bersabda: “Banyak sekali orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa haus dan lapar saja.”
1.       Ghibah, yaitu berbicara tentang orang lain dengan hal-hal yang tidak disukainya meskipun itu benar adanya.
2.       Namimah, yaitu memindah ucapan dengan tujuan memunculkan fitnah (adu domba).
3.       Bohong, yaitu memberi berita yang tidak sesuai dengan kenyataan.
4.       Melihat hal-hal yang haram atau halal tetapi disertai nafsu birahi (syahwat), yaitu menikmati apa yang dilihat.
5.       Sumpah palsu.
6.       Berkata dusta, jelek dan berbuat kejelekan. Dalam hadits disebutkan, “Bagi siapapun yang berpuasa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka ALLooh SWT tidak butuh terhadap apa yang ia lakukan dengan tidak makan dan minum (puasanya).”

Bagian Kedua : Al-Mufthirot
Yaitu hal-hal yang membatalkan puasa ada delapan:
1.       Murtad, memutus Islam dengan niat, ucapan, atau perbuatan meskipun murtad yang terjadi hanya sebentar.
2.       Haidh, nifas dan melahirkan di siang hari meskipun hanya saja.
3.       Gila walaupun sebentar saja.
4.       Pingsan dan mabuk, jika keduanya terjadi seharian. Jika sempat sadar meskipun sebentar, menurut pendapat mu’tamadnya Imam Romli, hukum puasanya sah. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Jika orang yang pingsan sadar di sebagian hari, meskipun sebentar maka puasanya sah.”
Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar, hukum puasanya batal jika kedua hal di atas terjadi karena kecerobohan meskipun terjadinya hanya sebentar. Sedangkan menurut ulama yang lain hukum puasanya tidak batal kecuali karena kecerobohan dan terjadi sepanjang hari.
5.       Jima’ (hubungan biologis). Jika dilakukan dengan sengaja dan mengetahui akan keharamannya serta dilakukan atas kemauan sendiri, maka hukum puasanya batal. Jika seseorang membatalkan puasa sehari di bulan Romadhon dengan jima’ yang diharamkan, maka ia akan menanggung lima sanksi atas perbuatannya:
a.       Mendapatkan dosa’
b.      Wajib menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sepanjang hari meskipun puasanya sudah batal.
c.       Wajib dita’zir, yaitu hukuman dari hakim jika tidak bertaubat.
d.      Wajib mengqodho’.
e.      Membayar kafarot udhmah, yaitu salah satu dari tiga perkara secara berurutan. Sehingga tidak boleh melakukan tingkatan kedua kecuali sudah tidak mampu melakukan tingkatan sebelumnya. Kafarot itu adalah sebagai berikut :
·         Memerdekakan budak mukminin.
·         Puasa dua bulan berturut-turut.
·         Memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang satu mendapatkan satu mud.
Kafarot ini diwajibkan pada laki-laki tidak pada perempuan. Jumlah kafarot akan bertambah sesuai dengan berapa hari yang dibatalkan. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“wajib membayar kafarot bagi orang yang membatalkan puasa sehari di bulan Romadhon jika melakukan jima’ yang diharamkan, seperti kafaratnya orang dhihar, tidak wajib bagi pihak perempuan. Jumlah kafarot akan bertambah disesuaikan dengan hari yang dibatalkan.”
6.       Masuknya benda (‘ain) ke dalam tubuh melalui jalan atau rongga yang terbuka di badan.
Dari kata “Ain” mengecualikan angina, maka tidak membatalkan jika angina masuk ke dalam tubuh, begitu pula sekedar rasa atau bau tanpa bendanya. Maka tidak batal puasa seseorang jika kedua hal tersebut masuk ke dalam tubuh.

Dari kata “jalan/ rongga yang terbuka” mengecualikan benda yang masuk ke dalam badan melalui rongga yang tidak terbuka semisal minyak dan sejenisnya yang masuk melalui pori-pori.

Di dalam madzhab Syafi’I, seluruh manafidz itu terbuka (membatalkan) kecuali mata. Dan menurut Imam Ghozali, selain mata juga telinga yang tidak termasuk manafidz yang terbuka.

Yang dimaksud dengan bagian dalam tubuh adalah bagian tubuh yang memproses makanan dan obat yaitu perut, atau memproses obat saja yaitu otak.
7.       Berusaha mengeluarkan sperma baik dengan tangan sendiri, tangan istri, berpelukan, menghayal atau melihat yang telah diketahui bahwa keduanya bisa mengeluarkan sperma. Jika sampai mengeluarkan sperma dengan salah satu cara di atas, maka hukum puasanya batal.
Ringkasan permasalahan keluar sperma, adakalanya membatalkan puasa dan adakalanya tidak membatalkan puasa.
Keluar sperma bisa membatalkan puasa dalam dua keadaan:
1.       Sengaja berusaha mengeluarkan sperma, maka secara mutlak membatalkan puasa baik mengeluarkan dengan cara apapun.
2.       Keluar sperma sebab bersentuhan dengan istri tanpa ada penghalang.

Keluar sperma tidak membatalkan puasa dalam dua keadaan:
1.       Ketika keluar bukan karena bersentuhan seperti memandang atau menghayal.
2.       Ketika keluar karena bersentuhan namun ada penghalangnya.

8.       Sengaja muntah, maka hukum puasanya batal meskipun yang keluar hanya sedikit.
Yang dimaksud dengan muntahan adalah makanan yang keluar setelah melewati tenggorokan meskipun berupa air, dan walaupun rasa dan baunya tidak berubah.

Hukum ketika ada muntahan yang keluar dari dalam: Ketika ada yang keluar, maka hukum menjadi najis sehingga wajib dibasuh dan berkumur dengan keras agar seluruh bagian mulut yang luar bisa terbasuh semua. Jika ada air yang masuk ke dalam tanpa sengaja saat berkumur, maka tidak membatalkan puasa karena menghilangkan najis merupakan hal yang diperintahkan syariat.


No comments:

Post a Comment