1. Perkara
yang membatalkan pahala puasa meskipun puasanya sah sehingga tidak wajib
mengqodho’. Bagian ini disebut al-muhbithot
(hal-hal yang membatalkan pahala).
2. Perkara
yang membatalkan puasa begitu juga pahalanya (jika tanpa udzur) sehingga wajib
mengqodho’. Bagian ini disebut dengan al-mufthirot
(hal-hal yang membatalkan puasa).
Bagian Pertama: Al-Muhbithot
Yaitu hal-hal yang membatalkan
pahala puasa. Nabi Muchammad SAW bersabda: “Banyak sekali orang yang berpuasa
namun ia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa haus dan lapar saja.”
1. Ghibah, yaitu berbicara tentang orang
lain dengan hal-hal yang tidak disukainya meskipun itu benar adanya.
2. Namimah, yaitu memindah ucapan dengan
tujuan memunculkan fitnah (adu domba).
3. Bohong,
yaitu memberi berita yang tidak sesuai dengan kenyataan.
4. Melihat
hal-hal yang haram atau halal tetapi disertai nafsu birahi (syahwat), yaitu
menikmati apa yang dilihat.
5. Sumpah
palsu.
6. Berkata
dusta, jelek dan berbuat kejelekan. Dalam hadits disebutkan, “Bagi siapapun yang berpuasa tidak
meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka ALLooh SWT tidak butuh terhadap
apa yang ia lakukan dengan tidak makan dan minum (puasanya).”
Bagian Kedua : Al-Mufthirot
Yaitu hal-hal yang membatalkan
puasa ada delapan:
1. Murtad,
memutus Islam dengan niat, ucapan, atau perbuatan meskipun murtad yang terjadi
hanya sebentar.
2. Haidh,
nifas dan melahirkan di siang hari meskipun hanya saja.
3. Gila
walaupun sebentar saja.
4. Pingsan
dan mabuk, jika keduanya terjadi seharian. Jika sempat sadar meskipun sebentar,
menurut pendapat mu’tamadnya Imam Romli, hukum puasanya sah. Sebagaimana yang
diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Jika orang yang pingsan sadar di sebagian
hari, meskipun sebentar maka puasanya sah.”
Sedangkan menurut
Imam Ibnu Hajar, hukum puasanya batal jika kedua hal di atas terjadi karena
kecerobohan meskipun terjadinya hanya sebentar. Sedangkan menurut ulama yang
lain hukum puasanya tidak batal kecuali karena kecerobohan dan terjadi
sepanjang hari.
5. Jima’
(hubungan biologis). Jika dilakukan dengan sengaja dan mengetahui akan
keharamannya serta dilakukan atas kemauan sendiri, maka hukum puasanya batal. Jika
seseorang membatalkan puasa sehari di bulan Romadhon dengan jima’ yang
diharamkan, maka ia akan menanggung lima sanksi atas perbuatannya:
a.
Mendapatkan dosa’
b.
Wajib menahan diri dari segala hal yang
membatalkan puasa sepanjang hari meskipun puasanya sudah batal.
c.
Wajib dita’zir, yaitu hukuman dari hakim jika
tidak bertaubat.
d.
Wajib mengqodho’.
e.
Membayar kafarot
udhmah, yaitu salah satu dari tiga perkara secara berurutan. Sehingga tidak
boleh melakukan tingkatan kedua kecuali sudah tidak mampu melakukan tingkatan
sebelumnya. Kafarot itu adalah sebagai berikut :
·
Memerdekakan budak mukminin.
·
Puasa dua bulan berturut-turut.
·
Memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang
satu mendapatkan satu mud.
Kafarot ini
diwajibkan pada laki-laki tidak pada perempuan. Jumlah kafarot akan bertambah
sesuai dengan berapa hari yang dibatalkan. Sebagaimana yang diungkapkan
penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“wajib membayar kafarot bagi orang yang
membatalkan puasa sehari di bulan Romadhon jika melakukan jima’ yang
diharamkan, seperti kafaratnya orang dhihar, tidak wajib bagi pihak perempuan. Jumlah
kafarot akan bertambah disesuaikan dengan hari yang dibatalkan.”
6. Masuknya
benda (‘ain) ke dalam tubuh melalui jalan atau rongga yang terbuka di badan.
Dari kata “Ain”
mengecualikan angina, maka tidak membatalkan jika angina masuk ke dalam tubuh,
begitu pula sekedar rasa atau bau tanpa bendanya. Maka tidak batal puasa
seseorang jika kedua hal tersebut masuk ke dalam tubuh.
Dari kata “jalan/
rongga yang terbuka” mengecualikan benda yang masuk ke dalam badan melalui
rongga yang tidak terbuka semisal minyak dan sejenisnya yang masuk melalui
pori-pori.
Di dalam madzhab
Syafi’I, seluruh manafidz itu terbuka
(membatalkan) kecuali mata. Dan menurut Imam Ghozali, selain mata juga telinga
yang tidak termasuk manafidz yang terbuka.
Yang dimaksud
dengan bagian dalam tubuh adalah bagian tubuh yang memproses makanan dan obat
yaitu perut, atau memproses obat saja yaitu otak.
7. Berusaha
mengeluarkan sperma baik dengan tangan sendiri, tangan istri, berpelukan, menghayal
atau melihat yang telah diketahui bahwa keduanya bisa mengeluarkan sperma. Jika
sampai mengeluarkan sperma dengan salah satu cara di atas, maka hukum puasanya
batal.
Ringkasan
permasalahan keluar sperma, adakalanya membatalkan puasa dan adakalanya tidak
membatalkan puasa.
Keluar sperma
bisa membatalkan puasa dalam dua keadaan:
1.
Sengaja berusaha mengeluarkan sperma, maka
secara mutlak membatalkan puasa baik mengeluarkan dengan cara apapun.
2.
Keluar sperma sebab bersentuhan dengan istri
tanpa ada penghalang.
Keluar sperma
tidak membatalkan puasa dalam dua keadaan:
1.
Ketika keluar bukan karena bersentuhan seperti
memandang atau menghayal.
2.
Ketika keluar karena bersentuhan namun ada
penghalangnya.
8. Sengaja
muntah, maka hukum puasanya batal meskipun yang keluar hanya sedikit.
Yang dimaksud
dengan muntahan adalah makanan yang keluar setelah melewati tenggorokan
meskipun berupa air, dan walaupun rasa dan baunya tidak berubah.
Hukum ketika ada
muntahan yang keluar dari dalam: Ketika ada yang keluar, maka hukum menjadi
najis sehingga wajib dibasuh dan berkumur dengan keras agar seluruh bagian
mulut yang luar bisa terbasuh semua. Jika ada air yang masuk ke dalam tanpa
sengaja saat berkumur, maka tidak membatalkan puasa karena menghilangkan najis
merupakan hal yang diperintahkan syariat.
No comments:
Post a Comment