Monday, 27 May 2019

Kesunnahan-Kesunnahan Sholat Ied


1.          Mengakhirkan pelaksanaan sholat hingga Matahari naik setinggi satu tombak.

2.          Dilaksanakan di masjid kalau masjidnya luas. Jika tidak luas, maka selain di masjid. Bagi wanita-wanita yang sedang haidh sunnah berada di pintu masjid untuk mendengarkan khutbah.

3.          Menghidupkan malam hari raya dengan beribadah.

4.          Mandi hari raya. Waktu mandi hari raya masuk setelah tengah malam.

5.          Memakai pengharum dan berhias bagi orang yang ada di rumah, keluar rumah, tua ataupun muda, baik yang mengikuti shola tied ataupun tidak. Bagi wanita lanjut usia dan wanita yang tidak memiliki penampilan menarik, sunnah untuk keluar mengikuti sholat ied di luar rumah dengan berpakaian yang jelek. Sedangkan bagi wanita muda atau wanita yang memiliki penampilan menarik, maka hukumnya makruh mengikuti shola tied di luar rumah, dan yang lebih utama bagi mereka adalah sholat di rumah.

6.          Sunnah bagi selain imam untuk berangkat pagi-pagi.

7.          Berangkat dengan berjalan kaki dan pulang lewat jalan lain yang lebih dekat. Karena pahala berangkat itu lebih besar sehingga disunnahkan melambatkan dengan memperbanyak langkah kaki sehingga makin banyak pahala. Memberikan fatwa jika ia termasuk ahli ilmu. Memberi sedekah saat berangkat dan pulang. Dan supaya kedua jalan yang ia lewati bisa menjadi saksi baginya.

8.          Segera melaksanakan sholat Idul Adha di awal waktu, agar waktu pelaksanaan kurban setelah sholat semakin panjang.

9.          Mengakhirkan pelaksanaan sholat Idul Fitri hingga matahari naik kira-kira setinggi dua tombak, agar waktu mengeluarkan zakat semakin panjang.

10.      Memakan sesuatu sebelum sholat Idul Fitri. Yang utama makan kurma dengan jumlah ganjil, supaya hari raya berbeda dengan hari sebelumnya yaitu dengan segera makan.

11.      Saat Idul Adha, sunnah untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar hingga sholat Ied. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Sebelum pelaksanaan sholat Idul Fitri, sunnah untuk berbuka, begitu juga sunnah tidak berbuka hingga waktu pelaksanaan kurban.”
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Sedekah Sunnah


 ·         Keutamaan Sedekah Sunnah
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan tentang keutamaan sedekah. Diantaranya adalah firman ALLooh SWT dalam surah Al-Haddid ayat 18:
“Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (ALLooh dan Rosul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada ALLooh pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka, dan bagi mereka pahala yang banyak.”

Dan sabda Baginda Nabi Muchammad SAW: “Setiap orang berteduh pada sedekahnya hingga semua manusia mendapat keputusan di hari kiamat.” Dan sabda beliau Nabi SAW: “Sungguh seorang hamba yang sedekah dengan secuil roti akan selalu berkembang di sisi ALLooh hingga sebesar gunung Uhud.” Dan sabda beliau Nabi SAW: “Sesungguhnya sedekah bisa meredam murka ALLooh dan bis mencegah mati yang jelek.”

·         Hukum Sedekah ada Empat
1.       Wajib, yaitu memberi makan orang yang kelaparan dengan syarat yang akan diberikan melebihi dari kebutuhannya sendiri.
2.       Sunnah, yaitu hukum asal sedekah.
3.       Makruh, yaitu sedekah dengan barang yang jelek.
4.       Haram, yaitu sedekah pada orang yang menggunakan barang yang disedekahkan untuk bermaksiat.

·         Kesunnahan-Kesunnahan yang Berhubungan dengan Sedekah Sunnah
1.       Sedekah dengan cara samar kecuali ia termasuk tokoh yang diikuti, maka sunnah untuk bersedekah dengan cara terang-terangan.
2.       Sedekah pada kerabat yang terdekat kemudian suami, lalu kerabat jauh, kemudian tetangga, musuh, ahli kebaikan dan orang-orang yang membutuhkan.
3.       Berusaha bersedekah di waktu-waktu yang utama seperti hari Jum’at, bulan Ramadhan terutama sepuluh hari terakhir, tanggal sepuluh bulan Dzul Chijjah, Asyuro’, dan bulan-bulan yang dimuliakan.
4.       Berusaha bersedekah di tempat-tempat yang mulia seperti Mekkah, Madinah, Baitul Maqdis, dan daerah-daerah lain yang penuh berkah.
5.       Sedekah dengan sesuatu yang disukainya, air dan binatang yang memiliki air susu yang melimpah.
6.       Tidak enggan untuk bersedekah dengan barang yang sedikit.
7.       Sedekah dengan hati ikhlas dan gembira.
8.       Tidak berharap orang yang diberi sedekah akan berdoa untuknya agar pahala yang didapat menjadi sempurna.
9.       Mensedekahkan harta yang melebihi dari kebutuhan jika ia bisa bersabar dengan kehidupan yang terbatas, jika tidak sabar hukumnya makruh.
Hukum Sedekah menjadi sunnah muakkad ketika ada hal-hal yang penting seperti terjadi peperangan dan masa kelaparan begitu juga ketika terjadi gerhana, sakit atau saat haji.

·         Hal-Hal yang Dimakruhkan dalam Sedekah
1.       Sedekah dengan perkara yang jelek kecuali dalam dua barang yaitu pakaian bekas dan uang lembaran.
2.       Menerima sedekah dari orang yang hartanya bercampur dengan barang-barang haram.
3.       Mengambil barang sedekah dari orang yang disedekahinya dengan cara dibeli atau yang lain.

·         Hal-Hal yang Diharamkan tentang Sedekah
1.       Sedekah dengan harta yang dibutuhkan untuk menafkahi keluarganya di siang dan malam hari tersebut dan dibutuhkan untuk membeli pakaian dalam satu musim, atau dibutuhkan untuk melunasi hutang dan tidak bisa melunasi dari yang lain.
2.       Mengungkit-ngungkit sedekah dan ini bisa menghilangkan pahala sedekah. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Sedekah sunnah dengan cara samar lebih utama, kepada kerabat, kemudian tetangga, waktu hajat, dan di bulan puasa. Sedekah dengan harta yang dibutuhkan keluarganya hukumnya haram. Sedekah dengan kelebihan harta bisa mendapatkan pahala bagi orang yang bisa bersabar jika dalam keadaan kekurangan.”
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Friday, 24 May 2019

Hukum Pembagian Zakat


·         Hukum Meratakan Pembagian Zakat
Wajib menyerahkan zakat secara merat pada setiap orang yang berhak dari golongan-golongan yang berhak menerima zakat jika yang membagikan adalah pemerintah. Jika yang membagikan adalah orang yang membayar zakat sendiri, sedangkan orang yang berhak menerima zakat terlalu banyak atau jumlah zakat yang dikeluarkan hanya sedikit, maka wajib memberikan minimal pada tiga orang dari setiap golongan di atas.

·         Hukum membagi dengan ukuran yang sama diantara setiap golongan yang berhak menerima zakat.
Wajib membagi dengan ukuran yang sama pada masing-masing golongan tidak pada setiap individunya.

·         Hukum ketika salah satu dari golongan yang berhak menerima zakat tidak ada (tidak ditemukan).
Jika salah satu golongan di atas tidak ada (tidak ditemukan), maka bagiannya diberikan pada golongan yang ada. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Golongan penerima zakat jika ada semua jumlahnya delapan. Golongan yang tidak ada, maka bagiannya diberikan pada yang ada.”

·         Hukum memindah zakat.
Menurut pendapat masyhur di dalam Madzhab Syafi’I, tidak diperbolehkan memindah pembayaran zakat dari daerah orang yang mengeluarkannya ke daerah yang lain. Sedangkan dalam urusan kafarat, wasiat dan nadzar diperbolehkan untuk dipindah ke daerah yang lain. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Memindah dari daerah pemilik harta dalam zakat fitrah dan zakat mal tidak bisa menggugurkan kewajiban, sedangkan dalam kafarat bisa menggugurkan seperti halnya wasiat dan nadzar.”

Imam ‘Ujail RA berkata: “Ada tiga permasalahan yang difatwakan dengan menggunakan hukum yang tidak masyhur di dalam madzhab Syafi’I, yaitu:
a.       Diperbolehkan memberikan zakat pada satu golongan saja.
b.      Diperbolehkan memberikan zakat satu orang pada satu orang saja dari satu golongan.
c.       Diperbolehkan memindah zakat dari satu daerah ke daerah yang lain.
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Tuesday, 21 May 2019

Golongan Yang Berhak Menerima Zakat ada Delapan:



1.       Faqir. Yaitu orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan sama sekali, atau memiliki pekerjaan atau harta namun tidak mencukupi kebutuhan, baik dari segi makanan, pakaian dan tempat tinggal, maksudnya ia hanya memiliki kurang dari separuh yang dibutuhan,
Contoh: Dalam sebulan membutuhkan biaya sebesar 500 Riyyal dan ia hanya bisa menghasilkan kurang dari 250 Riyyal.

2.       Miskin. Yaitu orang yang mempunyai harta atau pekerjaan yang memenuhi kebutuhan namun tidak sepenuhnya, maksudnya ia mampu menghasilkan lebih dari separuh yang dibutuhkan.
Contoh:  Dalam sebulan ia membutuhkan biaya sebesar 500 Riyyal dan ia hanya bisa memiliki 400 Riyyal.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Faqir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa. Sedangkan miskin adalah orang yang memiliki harta yang bisa mencukupi namun tidak semuanya.”

3.       Amil yang disebut juga As-Sa’i. Adalah orang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menarik zakat dari pemiliknya dan menyerahkan kepada yang berhak. Amil berhak diberi zakat meskipun ia orang kaya selama pemerintah tidak memberi gaji tertentu padanya dari kas Negara (Baitul Mal). Jika telah digaji, maka tidak berhak menerima zakat.

4.       Mu’allaf. Mu’allaf yang berhak menerima zakat ada empat:

a.       Orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah.
b.      Tokoh di kalangan kaumnya, sehingga dengan diberi zakat diharapkan bisa menarik orang-orang yang sesamanya agar masuk Islam.
c.       Orang Islam yang memerangi atau menakut-nakuti orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat sehingga mau menyerahkannya pada imam.
d.      Orang yang memerangi teman-temannya sendiri dari golongan orang kafir atau pemberontak, jika memberikan zakat padanya lebih mudah disbanding harus mengerahkan pasukan.

5.       Budak Mukattab. Yaitu budak yang menjalin akad cicilan dengan tuannya untuk menebus dirinya dengan akad yang sah. Maka ia berhak menerima zakat guna membantu cicilan untuk memerdekakannya.

6.       Ghorim. Orang yang berhutang bukan untuk maksiat. Ghorim yang berhak menerima zakat ada empat:

a.       Orang yang hutang guna menghentikan ketegangan diantara dua kelompok yang berseteru. Orang ini berhak menerima zakat meskipun ia kaya.
b.      Orang yang hutang karena untuk menjamu tamu, membangun masjid atau yang lainnya dari bentuk-bentuk kemaslahatan umum. Orang ini berhak menerima zakat meskipun orang kaya, selama kekayannya bukan berupa emas, perak dan uang.
c.       Orang yang hutang untuk kebutuhan biaya hidupnya atau keluarganya.
d.      Orang yang menanggung hutang orang lain. Orang semacam ini berhak menerima zakat jika hutangnya telah jatuh tempo dan ia termasuk orang miskin begitupula orang yang ditanggungnya.

7.       Ghujjah (tentara). Orang-orang yang mempersiapkan diri untuk berperang dan tidak menerima gaji dari pemerintah dalam buku Negara. Orang-orang ini berhak menerima zakat walaupun termasuk orang kaya.

8.       Ibn Sabil. Orang yang sedang dalam perjalanan atau hendak melakukan perjalanan namun ia tidak mempunyai bekal yang bisa mengantarkannya sampai ke daerahnya. Orang ini berhak menerima zakat meskipun ia memiliki harta di daerahnya.

WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Monday, 20 May 2019

Berbagai Permasalahan di dalam Bab Zakat


1.       Wajib niat saat menunaikan zakat karena untuk membedakan dengan sedekan sunnah.
·         Shihgot niat: “Ini adalah zakat hartaku” atau “ini sedekahku fardhu hartaku”
·         Waktu pelaksanaan niat adalah ketika memberikan kepada faqir miskin (atau golongan lain yang berhak), atau memasrahkan niat pada wakilnya.
·         Diperbolehkan melaksanakan niat sebelum menyerahkan kepada faqir miskin dengan syarat harta yang akan diserahkan sudah disendirikan (dipisahkan harta zakat dengan lainnya).
·         Ketika imam mengambil paksa zakat dari orang yang tidak mau menunaikannya, maka dalam keadaan seperti ini tidak masalah walaupun dari pembayar zakat tidak niat, karena keadaannya darurat dan dicukupkan dengan niat yang dilakukan oleh imam.

2.       Membayar zakat sebelum waktu wajib:
Diperbolehkan menta’jil (membayar sebelum waktunya) zakat sebelum melewati setahun dan hukumnya sah dengan beberapa syarat:
a.       Hartanya sudah mencapai satu nishob kecuali dalam harta dagangan yang tidak disyaratkan harus mencapai satu nishob, karena dalam dagangan jumlah satu nishob hanya disyaratkan di akhir tahun.
b.      Pemilik memenuhi syarat-syarat wajib zakat hingga sampai akhir tahun. Sehingga zakat yang dita’jil tidak sah jika sebelum melewati setahun, pemilik mati, jatuh miskin, atau jumlah harta kurang dari satu nishob.
c.       Penerima zakat yang dita’jil berhak menerima zakat di akhir tahun. Jika di akhir tahun, penerima menjadi orang kaya dari selain zakat, murtad atau mati, maka harta yang diberikan tidak menjadi zakat bahkan hukumnya seperti sedekah sunnah.
d.      Jika zakat yang dita’jil tidak memenuhi persyaratan sehingga tidak mencukupi, maka bagi pemilik berhak untuk menarik kembali, dan bagi penerima wajib mengembalikan jika ia tahu bahwa yang ia terima adalah zakat yang dita’jil.

3.       Jika menyewakan rumah selama dua tahun dengan ongkos 40 ribu Riyyal dan diterima semua, maka setelah melewati tahun pertama, ia wajib mengeluarkan zakat dari 20 ribu Riyyal. Setelah melewati tahun kedua, maka wajib mengeluarkan zakat dari sisa uang tahun pertama, dan mengeluarkan zakat dari 20 ribu Riyyal yang lain untuk dua tahun.
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Sunday, 19 May 2019

Siapakah yang wajib membayar zakat fitrah?


Jawaban: Zakat fitrah diwajibkan bagi setiap orang Islam merdeka yang memiliki makanan pokok sehari semalam pada saat hari raya, baik laki-laki atau perempuan, kecil maupun besar, merdeka ataupun budak.
 
Zakat fitrah menjadi wajib dengan syarat makanan yang diberikan pada orang-orang yang berhak telah melebihi dari beberapa hal di bawah ini:
a.       Biaya hidupnya dan biaya orang yang wajib ia nafkahi.
b.      Hutang meskipun belum jatuh tempo.
c.       Pelayan dan tempat tinggal yang layak.
Jika pada siang dan malam hari raya ia tidak memiliki kelebihan dari salah satu hal di atas, maka tidak ada kewajiban zakat fitrah baginya.

Jumlah yang wajib dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah satu sho’ dari setiap kepala, yaitu empat Mud dengan ukuran Mudnya Baginda Nabi Muchammad SAW, kurang lebih 2,75 kg.

Kaedah fiqih menyebutkan:
“Setiap orang yang wajib menafkahi orang lain, maka ia juga wajib membayar zakat fitrahnya.”
Dalam kaedah ini terdapat beberapa pengecualian baik secara tersurat maupun tersirat.

Secara tekstual disebutkan: “Setiap orang yang wajib menafkahi orang lain, maka ia juga wajib membayar zakat fitrahnya.” Dari ungkapan ini dikecualikan istrinya ayah yang wajib ia nafkahi namun tidak wajib mengeluarkan zakat fitrahnya. Begitupula budak, kerabat dan istrinya yang beragama non muslim, walaupun wajib dinafkahi namun tidak wajib dikeluarkan zakat fitrinya.

Dari kaedah di atas dapat diambil pemahaman bahwa “Setiap orang yang tidak wajib menafkahi orang lain, maka ia juga tidak wajib membayar zakat fitrah orang tersebut”, namun ada pengecualian dari pemahaman semacam ini, yaitu pada kasus pemilik budak yang melarikan diri, walaupun sang pemilik tidak wajib menafkahi budaknya tersebut namun ia wajib membayar zakat fitrah dari budak tersebut.

Ketika seorang suami tidak mampu membayar zakat fitrah istrinya, maka status zakat fitrah tersebut menjadi gugur (tidak wajib bagi suami dan bagi istri), namun disunnahkan bagi istri untuk membayar zakat fitrahnya sendiri.
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Saturday, 18 May 2019

Permasalahan-Permasalahan I’tikaf yang Berturut-turut


1.       Jika nadzar melakukan I’tikaf dalam masa tertentu secara berturut-turut, maka wajib melaksanakannya dengan berturut-turut. Jika diputus di tengah, maka wajib mengulangi dari awal lagi.

2.       Ada empat hal yang bisa memutus I’tikaf yang berturut-turut:
a.       Mabuk.
b.      Kufur.
c.       Jima’ dengan sengaja.
d.      Sengaja keluar tanpa ada hajat. Contoh hajat adalah sakit, mandi, menghilangkan najis, makan, minum, memenuhi hajat orang lain, menghilangkan najis. Begitu juga (tidak sampai membatalkan) jika ketika keluar karena hajat kemudian menjenguk orang sakit, mengunjungi orang yang baru datang dari bepergian dan mensholati jenazah.

3.       Udzur-udzur yang tidak bisa memutus I’tikaf yang dilakukan secara berturut-turut ada tujuh. Ketika keluar masjid karena salah satu diantara udzur-udzur tersebut, maka tidak harus mengulangi niat saat kembali lagi. Udzur-udzur tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Gila atau pingsan, baik masih berada di masjid atau keluar dari masjid, karena hal ini dianggap sebagai darurat.
b.      Keluar karena dipaksa tanpa alasan yang benar.
c.       Haidh jika masa I’tikaf tidak cukup jika dilakukan dalam masa yang cuci.
d.      Adzan yang dilakukan oleh muadzin yang sudah ditentukan di menara yang terpisah dari masjid.
e.      Memenuhi panggilan hukuman yang ditetapkan bukan karena pengakuannya sendiri.
f.        Melaksanakan iddah yang bukan karena sebab dirinya.
g.       Menjadi saksi yang tertentu pada dirinya dan tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh penyusun Shofwatu Az-Zubad:
I’tikaf Bagi Wanita“Ulama menghukumi batal I’tikaf yang dinadzari berturut-turut sebab jima’, bersentuhan kulit beserta keluar sperma. Tidak batal sebab keluar karena lupa atau buang hajatnya manusia atau sakit yang berat jika berada di masjid, haidh, mandi sebab keluar sperma, makan, minum, atau adzan dari orang yang diangkat oleh imam, dan takut kepada penguasa.”

4.       Ketika ada seorang yang nadzar melakukan I’tikaf secara berturut-turut namun ia juga mensyaratkan keluar dari masjid sebelum selesainya waktu I’tikaf, bagaimanakah hukum syarat ini?
Jawaban: terdapat perincian di dalam hal ini:
·        Ketika mensyaratkan keluar kalau ada sesuatu yang mubah dan dipertimbangkan secara syariat serta tidak menafikan terhadap I’tikaf, maka syarat tersebut sah. Jika menentukan sesuatu yang menjadi sebab keluarnya seperti mengunjungi kerabat, maka tidak diperbolehkan melakukan selain yang telah ditentukan. Dan jika tidak menentukan sesuatu yang menjadi sebab keluarnya bahkan memutlakkan, maka diperbolehkan keluar setiap ada keperluan walaupun perkara duniawi yang dimubahkan seperti menyambut raja dan yang lainnya.
·        Jika mensyaratkan keluar tanpa harus ada keperluan seperti mengatakan : “Kecuali kalau saya ingin keluar”, atau mensyaratkan keluar ketika terjadi sesuatu namun sesuatu itu diharamkan seperti mencuri atau tidak dipertimbangkan menurut syariat seperti mencari hiburan saja atau menafikan I’tikaf seperti menjima’ istri, maka hukum syarat tersebut tidak sah bahkan sama sekali tidak dianggap.

WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Thursday, 16 May 2019

Permasalahan-Permasalahan di dalam I’tikaf


1.       Jika ada seorang yang masuk masjid dan niat I’tikaf kemudian ia keluar lalu masuk kembali ke dalam masjid, apakah ia harus niat I’tikaf lagi (agar mendapatkan kesunnahan I’tikaf) atau cukup dengan niat yang pertama?
Jawaban: Terdapat perincian dalam permasalahan ini, karena adakalanya ia I’tikaf tanpa membatasi waktunya, adapula yang membatasi dengan waktu tertentu, ada yang berupa I’tikaf nadzar mungkin juga hanya I’tikaf sunnah.
Pertama, ketika tanpa membatasi dengan waktu tertentu, maka dilihat:
·        Jika saat keluar tidak ada tujuan untuk kembali lagi, maka harus niat yang kedua secara mutlak jika ia ingin melakukan I’tikaf, baik keluar karena buang hajat atau tidak.
·        Jika saat keluar ada tujuan untuk kembali lagi, maka tidak perlu mengulangi niat I’tikaf yang kedua kali, karena tujuan kembali ini sudah mencukupkan dari niat I’tikaf yang kedua kali.
Kedua, ketika dibatasi dengan waktu tertentu seperti sehari atau sebulan, namun tidak mensyaratkan dilakukan dengan berturut-turut maka dilihat:
·        Jika keluar untuk buang hajat, kencing atau berak, maka tidak harus niat yang kedua, meskipun buang hajatnya lama. Karena buang hajat adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari sehingga seakan hal ini dikecualikan saat niat.
·        Jika keluar bukan untuk buang hajat namun ada tujuan untuk kembali lagi, maka tidak harus mengulangi niat kedua kali. Dan jika keluar tanpa ada tujuan kembali lagi, maka harus mengulangi niat yang kedua.

2.       Jika ada seseorang masuk masjid dan lupa tidak niat I’tikaf, apakah diperbolehkan baginya niat I’tikaf saat melaksanakan sholat?
Jawaban: Diperbolehkan niat I’tikaf saat sholat namun tidak boleh diucapkan dengan lisan karena hal ini termasuk ucapan yang tidak ada hubungannya dengan sholat sehingga membatalkan sholat jika diucapkan.
WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

#Itikaf #NiatItikaf #SepuluhMalamTerakhir #BabItikaf #PuasaRomadhon #BulanRomadhon #PemudaAswaja #PenjagaTradisi  #PembelaSunni #PembelaNKRI

Wednesday, 15 May 2019

Permasalahan-Permasalahan yang Sering Terjadi di dalam Puasa


1.                Ketika anak kecil telah baligh, musafir telah mukim atau orang sakit telah sembuh dalam keadaan berpuasa, maka haram bagi mereka membatalkan puasa dan wajib menyempurnakannya.

2.                Ketika wanita haidh dan nifas telah suci, orang gila telah sembuh atau orang kafir masuk Islam di siang hari bulan Ramadhan, maka sunnah bagi mereka untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa. Tidak wajib mengqodho’ bagi orang gila yang sudah sembuh dan orang kafir yang masuk Islam.


3.                Wajib bagi orang murtad untuk mengqodho’ puasa yang ditinggalkan saat murtad meskipun saat itu ia gila.

Hasil gambar untuk masih makan sahur saat adzan subuh4.                Kesalahan fatal yang banyak dilakukan oleh orang-orang adalah bergegas minum saat mendengar adzan Shubuh, karena mereka berkeyakinan bahwa diperbolehkan minum selama muadzin masih adzan, padahal hal itu tidak diperbolehkan. Bagi yang melakukannya, maka puasanya batal, dan wajib mengqodho’ jika puasa yang dilakukan adalah puasa fardhu, karena seorang muadzin tidak melaksanakan adzan kecuali telah terbit fajar, sehingga minum saat adzan itu sama saja dengan minum saat terbitnya fajar, hal ini mereka lakukan tidak lain karena bodoh dan tidak ada satupun ulama yang memperbolehkan hal ini.


5.                Ketika seseorang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan qodho’ puasa Romadhon atau kafarot padahal ia mampu melaksanakan saat masih hidup, maka bagi wali (kerabat) diperbolehkan untuk melaksanakan puasa atas nama mayit, atau mengeluarkan makanan satu mud untuk setiap harinya.

6.                Diperbolehkan, membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. Dan tidak diperbolehkan membatalkan puasa wajib ketika tidak ada udzur, baik puasa Romadhon, qodho’ Romadhon, nadzar atau puasa-puasa wajib lainnya.


7.                Haram menyambung puasa dua hari atau lebih tanpa disela-selai hal-hal yang membatalkan puasa.

8.                Wajib segera mengqodho’ puasa fardhu jika membatalkannya (tidak melaksanakannya) tanpa ada udzur. Dan tidak wajib segera (boleh ditunda) mengqodho’ jika ditinggalkan karena ada udzur, seperti bepergian, sakit atau lupa niat.


9.                Ketika melihat orang yang berpuasa sedang makan di siang hari, maka jika dzhohir keadaan orang tersebut adalah orang yang bertaqwa kepada ALLooh SWT, maka sunnah untuk mengingatkannya. Jika sosok dzhohir orang tersebut ceroboh di dalam urusan agama, maka wajib diingatkan.

WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Membatalkan Puasa dan Hal yang Wajib Dilakukan Karenanya Terbagi Menjadi Empat:


 1.       Ada dua keadaan membatalkan puasa yang mewajibkan qodho’ dan membayar fidyah:
a.       Membatalkan puasa karena khawatir pada orang lain seperti wanita hamil yang membatalkan (tidak) berpuasa karena khawatir pada janinnya, wanita menyusui yang khawatir pada bayi yang disusuinya. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
Hasil gambar untuk ibu hamil wajib mengganti puasa“Wajib membayar satu mud dan mengqodho’, bagi wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir pada bayinya.”
Jika keduanya khawatir pada diri sendiri dan bayinya, maka tidak ada kewajiban kecuali hanya qodho’ saja.
b.      Membatalkan puasa beserta mengakhirkan qodho’ dan mungkin untuk mengqodho’ hingga masuk Romadhon berikutnya tanpa ada udzur.
Fidyah adalah satu mud untuk setiap harinya diambil dari bahan makanan pokok daerah setempat. Hitungan fidyah bertambah banyak disesuaikan dengan jumlah tahun yang dilewati.

2.       Membatalkan puasa yang mewajibkan qodho’ tanpa harus membayar fidyah, yaitu seperti orang yang batal puasanya sebab pingsan, lupa tidak niat di malam hari, dan orang yang membatalkan puasa dengan selain jima’ tanpa ada udzur.

3.       Membatalkan puasa yang mewajibkan membayar fidyah tanpa wajib mengqodho’, seperti orang yang sudah sangat tua dan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh.

4.       Membatalkan puasa yang tidak mewajibkan mengqodho’ dan tidak mewajibkan bayar fidyah. Seperti orang yang batal puasanya sebab gila yang bukan dikarenakan kecerobohannya. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Perbolehkanlah membatalkan puasa karena khawatir mati, karena sakit dan bepergian jauh. Wanita menyusui dan wanita hamil yang khawatir terjadi bahaya pada dirinya. Dan wajib mengqodho’ tanpa harus membayar fidyah. Orang yang tidak berpuasa sebab tua sekali, maka wajib membayar satu mud untuk setiap harinya tanpa harus mengqodho’.”

WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Tuesday, 14 May 2019

Perkara-perkara yang Membatalkan Puasa


Hasil gambar untuk Perkara-perkara yang Membatalkan PuasaPerkara yang membatalkan puasa terbagi menjadi dua:
1.       Perkara yang membatalkan pahala puasa meskipun puasanya sah sehingga tidak wajib mengqodho’. Bagian ini disebut al-muhbithot (hal-hal yang membatalkan pahala).
2.       Perkara yang membatalkan puasa begitu juga pahalanya (jika tanpa udzur) sehingga wajib mengqodho’. Bagian ini disebut dengan al-mufthirot (hal-hal yang membatalkan puasa).

Bagian Pertama: Al-Muhbithot
Yaitu hal-hal yang membatalkan pahala puasa. Nabi Muchammad SAW bersabda: “Banyak sekali orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali rasa haus dan lapar saja.”
1.       Ghibah, yaitu berbicara tentang orang lain dengan hal-hal yang tidak disukainya meskipun itu benar adanya.
2.       Namimah, yaitu memindah ucapan dengan tujuan memunculkan fitnah (adu domba).
3.       Bohong, yaitu memberi berita yang tidak sesuai dengan kenyataan.
4.       Melihat hal-hal yang haram atau halal tetapi disertai nafsu birahi (syahwat), yaitu menikmati apa yang dilihat.
5.       Sumpah palsu.
6.       Berkata dusta, jelek dan berbuat kejelekan. Dalam hadits disebutkan, “Bagi siapapun yang berpuasa tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta, maka ALLooh SWT tidak butuh terhadap apa yang ia lakukan dengan tidak makan dan minum (puasanya).”

Bagian Kedua : Al-Mufthirot
Yaitu hal-hal yang membatalkan puasa ada delapan:
1.       Murtad, memutus Islam dengan niat, ucapan, atau perbuatan meskipun murtad yang terjadi hanya sebentar.
2.       Haidh, nifas dan melahirkan di siang hari meskipun hanya saja.
3.       Gila walaupun sebentar saja.
4.       Pingsan dan mabuk, jika keduanya terjadi seharian. Jika sempat sadar meskipun sebentar, menurut pendapat mu’tamadnya Imam Romli, hukum puasanya sah. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“Jika orang yang pingsan sadar di sebagian hari, meskipun sebentar maka puasanya sah.”
Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar, hukum puasanya batal jika kedua hal di atas terjadi karena kecerobohan meskipun terjadinya hanya sebentar. Sedangkan menurut ulama yang lain hukum puasanya tidak batal kecuali karena kecerobohan dan terjadi sepanjang hari.
5.       Jima’ (hubungan biologis). Jika dilakukan dengan sengaja dan mengetahui akan keharamannya serta dilakukan atas kemauan sendiri, maka hukum puasanya batal. Jika seseorang membatalkan puasa sehari di bulan Romadhon dengan jima’ yang diharamkan, maka ia akan menanggung lima sanksi atas perbuatannya:
a.       Mendapatkan dosa’
b.      Wajib menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa sepanjang hari meskipun puasanya sudah batal.
c.       Wajib dita’zir, yaitu hukuman dari hakim jika tidak bertaubat.
d.      Wajib mengqodho’.
e.      Membayar kafarot udhmah, yaitu salah satu dari tiga perkara secara berurutan. Sehingga tidak boleh melakukan tingkatan kedua kecuali sudah tidak mampu melakukan tingkatan sebelumnya. Kafarot itu adalah sebagai berikut :
·         Memerdekakan budak mukminin.
·         Puasa dua bulan berturut-turut.
·         Memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap orang satu mendapatkan satu mud.
Kafarot ini diwajibkan pada laki-laki tidak pada perempuan. Jumlah kafarot akan bertambah sesuai dengan berapa hari yang dibatalkan. Sebagaimana yang diungkapkan penyusun Shofwatu Az-Zubad:
“wajib membayar kafarot bagi orang yang membatalkan puasa sehari di bulan Romadhon jika melakukan jima’ yang diharamkan, seperti kafaratnya orang dhihar, tidak wajib bagi pihak perempuan. Jumlah kafarot akan bertambah disesuaikan dengan hari yang dibatalkan.”
6.       Masuknya benda (‘ain) ke dalam tubuh melalui jalan atau rongga yang terbuka di badan.
Dari kata “Ain” mengecualikan angina, maka tidak membatalkan jika angina masuk ke dalam tubuh, begitu pula sekedar rasa atau bau tanpa bendanya. Maka tidak batal puasa seseorang jika kedua hal tersebut masuk ke dalam tubuh.

Dari kata “jalan/ rongga yang terbuka” mengecualikan benda yang masuk ke dalam badan melalui rongga yang tidak terbuka semisal minyak dan sejenisnya yang masuk melalui pori-pori.

Di dalam madzhab Syafi’I, seluruh manafidz itu terbuka (membatalkan) kecuali mata. Dan menurut Imam Ghozali, selain mata juga telinga yang tidak termasuk manafidz yang terbuka.

Yang dimaksud dengan bagian dalam tubuh adalah bagian tubuh yang memproses makanan dan obat yaitu perut, atau memproses obat saja yaitu otak.
7.       Berusaha mengeluarkan sperma baik dengan tangan sendiri, tangan istri, berpelukan, menghayal atau melihat yang telah diketahui bahwa keduanya bisa mengeluarkan sperma. Jika sampai mengeluarkan sperma dengan salah satu cara di atas, maka hukum puasanya batal.
Ringkasan permasalahan keluar sperma, adakalanya membatalkan puasa dan adakalanya tidak membatalkan puasa.
Keluar sperma bisa membatalkan puasa dalam dua keadaan:
1.       Sengaja berusaha mengeluarkan sperma, maka secara mutlak membatalkan puasa baik mengeluarkan dengan cara apapun.
2.       Keluar sperma sebab bersentuhan dengan istri tanpa ada penghalang.

Keluar sperma tidak membatalkan puasa dalam dua keadaan:
1.       Ketika keluar bukan karena bersentuhan seperti memandang atau menghayal.
2.       Ketika keluar karena bersentuhan namun ada penghalangnya.

8.       Sengaja muntah, maka hukum puasanya batal meskipun yang keluar hanya sedikit.
Yang dimaksud dengan muntahan adalah makanan yang keluar setelah melewati tenggorokan meskipun berupa air, dan walaupun rasa dan baunya tidak berubah.

Hukum ketika ada muntahan yang keluar dari dalam: Ketika ada yang keluar, maka hukum menjadi najis sehingga wajib dibasuh dan berkumur dengan keras agar seluruh bagian mulut yang luar bisa terbasuh semua. Jika ada air yang masuk ke dalam tanpa sengaja saat berkumur, maka tidak membatalkan puasa karena menghilangkan najis merupakan hal yang diperintahkan syariat.