al-Maghfurlah KH. As'ad Syamsul Arifin
Ummat Islam terutama kalangan santri patut bersyukur. Salah satu ulama besar, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo mendapat Gelar Pahlawan Nasional. KH. R. As'ad merupakan sosok ulama sekaligus pejuang. Gelar Pahlawan Nasional tersebut tertuang melalui Salinan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 90/TK/2016 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dilakukan di Istana Negara pada pukul 13.00 WIB dengan dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi. Keppres Pahlawan Nasional diserahkan Presiden pada ahli waris keluarga, KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy yang kini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Banyuputih Situbondo.
Sosok Kyai As'ad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya dalam melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total. Tidak segan, Kyai As'ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas penjajah.
Siapakah sosok fenomenal KHR. As'ad Syamsul Arifin itu? Kyai As'ad putra pertama dari KH Syamsul Arifin (Raden Ibrahim) yang menikah dengan Siti Maimunah. Kyai As'ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi'ib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram.
Garis keturunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni Kyai As'ad bin Kyai Syamsul Arifin bin Kyai Ruhan (Kyai Abdurrahman) bin Bujuk Bagandan (Sidobulangan) bin Bujuk Cendana (Pakong Pamekasan) bin Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Perjumpaan dalam menegakkan agama Islam Ahlussunah wal Jama'ah sungguh luar biasa. Termasuk Kyai As'ad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipastikan dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandraguna.
Kyai As'ad menempuhnya pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain: Sayyid Abbas Al-Maliki, Syaikh Hasan Al-Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan lain-lain.
Sepulangnya ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren: Ponpes Sidogiri (KH Nawawi), Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo (KH Khazin), Ponpes Kademangan Bangkalan (KH Kholil) dan Ponpes Tebuireng (KH Hasyim Asy'ari).
Wajar bila keilmuan agama Kyai As'ad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu itu, ia meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyah Syafi'iyah. Sejak 1938, Kyai As'ad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Al-Qur'an dan Ma'had Aly dengan nama Al-Ibrahimy (sesuai nama asal ayahandanya).
Pendirian NU
Peran Kyai As'ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama sangat nampak sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH. Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH. Hasyim Asy'ari memberi "tanda restu" pendirian NU.
Dua kali Kyai As'ad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan jalan kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua dilakukan dengan naik mobil angkutan.
Dua "restu" KH. Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan Surat Thoha ayat 17-23 dan bacaan dzikir: Yaa Jabbar Yaa Qohhar. Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. "Saya berhasil mau membentuk jam'iyyah ulama" tegas Mbah Hasyim di hadapan Kyai As'ad.
Atas jasa Kyai As'ad sebagai penyampai isyarat langit dari Syaikhona Kholil inilah, NU berdiri. Maka ada sebutan tiga serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri dari KH. Kholil, KH. Hasyim Asy'ari dan KH. As'ad Syamsul Arifin.
NU bagi Kyai As'ad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.
"Saya ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sbeab saya menerima NU dari guru saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga." tegas Kyai As'ad
Perjuangan Kyai As'ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, 10.000 orang yang ada di sana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As'ad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.
Ketegasan Kyai As'ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasilais tahun 1982/1983, NU merespons cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kyai As'ad.
Tanggal 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila.
Gagasan besar KH. Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH. As'ad bersama KH. Mahrus Ali, KH. Masykur dan KH Ali Ma'shum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH As'ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau dibunuh.
Itu semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kyai NU dan para Nahdliyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan NKRI.
Di usianya ke 93, ALLooh SWT memanggilnya Kyai As'ad. KH. As'ad Syamsul Arifin berpulang keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyah Syafi'iyah. Sumber: http://www.muslimmoderat.net
Gerilya
Kyai As'ad memiliki peran penting dalam merebut senjata Belanda. Beliau turun langsung berbaur dengan Bromocorah yang menjadi binaannya (disebut Pelopor) memimpin perebutan senjata sambil berpuasa pada 20 Juli 1947 untuk mendukung perlawanan gerilyawan atas agresi militer Belanda.
Para pelopor sebenarnya meminta Kyai As'ad untuk tidak turun langsung ke dalam hutan. Mereka khawatir terkena serangan Belanda. Namun, beliau bukan tipe orang yang suka duduk manis di atas kursi melihat orang lain bekerja. Beliau bersikeras ikut serta merebut senjata dan siap berperang melawan Belanda.
Kyai As'ad menyadari cinta tanah air bagian dari iman, dan pentingnya sebuah tanah air untuk mengamalkannya ajaran agama. Agama tanpa tanah air sulit untuk direalisasikan. Sementara tanah air tanpa agama akan amburadul. Keduanya ibarat sebuah mata uang, sisi yang satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan.
Kyai As'ad menanamkan motivasi perjuangan kepada para pelopor. Dengan motivasi itu, para pelopor semangat menyusuri jalan cadas nan berbatu menanjak melintasi 100 desa, dan takut mati untuk memperoleh senjata demi mempertahankan tanah air sebagai bentuk pengamalan orang beriman.
"Kalian tidak boleh mundur. Kalau mati, akan syahid dan masuk surga. Namun, jika lari ke belakang, kalian akan meninggal dalam keadaan kafir." Dawuh Kyai As'ad kepada para pelopor sebelum berangkat merampas senjata Belanda.
Misi mengambil senjata tak mengalami hambatan berarti, namun satu anggota Pelopor tewas. Anggota Pelopor berhasil mengambil 24 senjata api dan amunisi, termasuk senapan jenis bren, sten gun, lee Enfield, mortir, light machine gun, serenteng peluru tajam dan granat.