Sunday, 17 March 2019

Wafatnya Abu Tholib dan Sayyidah Khodijah


Related imageSetelah piagam boikot dihentikan, RosuuluLLooh SAW dan para sahabat kembali mendakwahkan Islam kepada kaum Quroisy khususnya dan dunia pada umumnya. Hingga tibalah Rojab tahun kesepuluh kenabian. Pada saat itu, Abu Tholib , sang paman yang tak kenal lelah melindungi keponakannya ini semakin lemah kondisi fisiknya dan akhirnya meninggal dunia dalam usia kurang lebih delapan puluh tahun. Nabi SAW sangat bersedih dengan wafatnya paman beliau SAW yang satu ini. Paman yang selalu berusaha membela dan melindungi beliau dari gangguan kaum kafir. Paman yang sejak kecil telah menjadi ayah asuh beliau SAW. Belum sirna kesedihan beliau SAW, tiga hari setelah wafatnya Abu Tholib, istri yang sangat beliau cintai, Sayyidah Khodijah RAnha, meninggal dunia juga. Dalam satu bulan di tahun yang sama, Nabi SAW di dera duka cita yang sangat mendalam, sehingga beliau SAW menamakan tahun ini sebagai Amul Huzn (tahun kesedihan).

Setelah wafatnya paman dan istri beliau SAW, kaum kafir semakin leluasa mengganggu dan menyiksa RosuuluLLooh SAW. Gangguan yang paling ringan di antaranya adalah ketika seorang pander Quroisy mencegat beliau di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke kepala beliau SAW. Beliau SAW pun pulang ke rumah dengan tanah yang masih di atas kepala. Salah seorang puteri beliau segera datang membersihkan kotoran tersebut sambil menangis. Tidak ada yang lebih pilu rasanya dalam hati seorang ayah daripada mendengar tangis anaknya, lebih-lebih anak perempuannya. Maka, pada saat itulah RosuuluLLooh SAW bersabda:
“Jangan menangis anakku, sesungguhnya ALLooh selalu melindungi ayahmu.”

Dalam shohih Bukhooriy disebutkan bahwa pada suatu hari seorang sahabat yang bernama ‘Urwah bin Zubair bertanya kepada ‘AbduLLooh bin ‘Amr bin ‘Ash, “Tolong ceritakan kepadaku, gangguan terberat yang pernah dilakukan oleh orang-orang musyrik kepada RosuuluLLooh SAW.”

‘AbduLLooh pun berkata:
Suatu hari, saat Nabi SAW sholat di depan Ka’bah, datanglah ‘Uqbah bin Abi Mu’aith menghampiri beliau SAW. Ia kemudian memegang pundak RosuuluLLooh SAW dan membelitkan bajunya ke leher beliau dan menyentakkannya dengan sekuat tenaga. Nabi Muchammad SAW tercekik dan jatuh tersungkur. Orang-orang yang melihat kejadian itu menjerit. Mereka menyangka Nabi telah wafat. Melihat hal itu, Sayyidina Abu Bakar RA, dengan cepat menghampiri Uqbah dan melepaskan cekikannya. Beliau pun menyingkirkan Uqbah dan membaca wahyu ALLooh berikut kepadanya:
“Apakah kalian akan membunuh seseorang hanya karena dia menyatakan, ‘Tuhanku adalah ALLooh.’ Padahal dia telah datang kepada kalian dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhan kalian.” [QS. Al-Mu’min, 40:28]

‘Uqbah tidak menjawab pertanyaan Sayyidina Abu Bakar RA, ia pun langsung pergi dan berkumpul kembali dengan para pemimpin Quroisy.

Suatu hari RosuuluLLooh SAW tengah sholat di depan Ka’bah ketika orang-orang kafir Quroisy sedang berkumpul di dekat beliau SAW. Tiba-tiba ‘Uqbah bin Abi Mu’aith datang membawa kotoran unta dan meletakkan kotoran tersebut di punggung RosuuluLLooh SAW. RosuuluLLooh SAW tetap dalam sujudnya dan tidak mengangkat kepala beliau SAW hingga datanglah Siti Fathimah RAnha, menyingkirkan kotoran tersebut dari punggun beliau SAW.

Beberapa kisah di atas merupakan sebuah gambaran kecil tentang siksaan yang dialami oleh RosuuluLLooh SAW sepeninggal paman dan istri beliau SAW tercinta.

Dahulu ketika Sayyidah Khodijah RAnha masih hidup, beliau senantiasa mengayomi RosuuluLLooh SAW dengan cinta dan kasihnya yang tiada bertepi. Sepeninggal Sayyidah Khodijah, RosuuluLLooh SAW sangat bersedih. Bagaimana tidak, sedangkan wanita yang selama ini menyinari hari-hari dakwahnya itupun kini telah tiada. Terbayang bagaimana ketika Sayyidah Khodijah yang menyemangati dan meyakinkan beliau bahwa makhluk yang datang (malaikat Jibril AS) seraya menyuruhnya untuk membaca tak akan mungkin mencelakakannya. Terbayanglah pula bagaimana Sayyidah Khodijah saat itu menyelimutinya ketika hawa dingin menyergap tubuhnya. Ketika Nabi SAW pertama kali menerima wahyu yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan bentuknya yang sangat dahsyat. Nabi pun segera turun dari gua Hiro menuju rumah Siti Khodijah seraya berkata, “Aku mengkhawatirkan diriku.” Pada saat itulah dengan penuh kelembutan dan cinta kasih, Sayyidah Khodijah menenteramkan hati suaminya seraya berkata dengan perkataan yang indah yang terabadikan di dalam kitab-kitab hadits:
“Sungguh, sekali-kali tidak, bergembiralah. Demi ALLooh, sesungguhnya ALLooh selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi ALLooh, sungguh engkau telah menyambung tali silaturahmi, jujur dalam berkata, suka membantu orang yang tidak mampu mandiri, menolong orang miskin, memuliakan (menjamu) tamumu, dan suka menolong orang-orang yang terkena musibah.” [HR. Imam Bukhooriy dan Imam Muslim]
Demikianlah sikap Siti Khodijah yang mulia dalam menenangkan dan meyakinkan RosuuluLLooh SAW.

Bagaimana  beliau SAW tidak bersedih, terbayang di dalam benak beliau SAW bagaimana Sayyidah Khodijah dengan mudah mengeluarkan seluruh hartanya untuk dakwah. Terbayanglah bagaimana Sayyidah Khodijah dengan kedudukannya yang mulia telah melindungi RosuuluLLooh dari kaum kafir Quroisy, rela menderita, dicaci dan dihina, diboikot selama tiga tahun hingga beliau makan rerumputan untuk menyambung hidupnya. Dan kini wanita tercinta itu telah tiada. Cinta pertama Nabi SAW, Siti Khodijah binti Khuwailid RAnha.

RosuuluLLooh SAW pernah bersabda tentang rasa cinta beliau kepada istrinya tersebut:
“Sungguh ALLooh telah menganugerahkan kepadaku rasa cinta kepada Khodijah.” [HR. Imam Muslim]

Kecintaan RosuuluLLooh SAW kepada Sayyidah Khodijah begitu besar, bahkan digambarkan bahwa hal tersebut menjadi hal yang paling dicemburui oleh Sayyidah ‘Aisyah. Sayyidah ‘Aisyah berkata:
“Aku tidak pernah merasa cemburu kepada salah seorang istri Nabi SAW seperti rasa cemburu kepada Khodijah. Ia wafat sebelum Nabi SAW menikahiku. Kendati demikian, beliau sering menyebutnya. ALLooh juga memerintahkan beliau untuk memberikan kabar gembira kepadanya bahwa sebuah rumah  yang terbuat dari permata telah dipersiapkan untuknya di surga. Dan beliau suka menyembelih kambing kemudian menghadiahkannya kepada bibi-bibi Khodijah.” [HR. Imam Bukhooriy]

Dalam kesempatan lain, Sayyidah ‘Aisyah mengatakan:
“Terkadang beliau SAW menyembelih kambing, memotong-motongnya menjadi beberapa bagian, kemudian memberikannya kepada teman-teman Khadijah.” [HR. Imam Bukhooriy]

Karena sangat mencintai Sayyidah Khodijah RAnha, maka ketika mendengar suara Halah – saudari Sayyidah Khodijah – yang meminta izin untuk bertemu dengannya, beliau SAW merasa sangat senang, sebab suara Halah sangat mirip dengan suara Sayyidah Khodijah RAnha.

Dalam kesempatan lain, Sayyidah ‘Aisyah RAnha menceritakan:
“Nabi SAW ketika menyebut tentang Khodijah maka beliau pun memujinya, dengan pujian yang sangat indah. Maka suatu hari aku pun cemburu dan berkata.” Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua. ALLooh telah memberimu ganti dengan wanita yang lebih baik darinya.” Maka Nabi berkata, “ALLooh tidak menggantikannya dengan seorang pun wanita yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku tatkala orang-orang kafir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya dan tidak membantuku, dan ALLooh telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala ALLooh tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain.” [HR. Imam Achmad]

Sayyidah Khodijah RAnha memiliki banyak keistimewaan, di antaranya adalah sebagaimana tersebut dalam hadits di atas dan juga diceritakan oleh Sayyidina Abu Huroiroh RA dalam hadits berikut:
“Jibril mendatangi Nabi SAW lalu berkata, “Duhai RosuuluLLooh, Khodijah telah datang, membawa tempayang berisi kuah daging atau makanan atau minuman, maka jika ia tiba sampaikanlah kepadanya salam dari Tuhannya dan dariku, serta kabarkanlah kepadanya bahwa ia memiliki sebuah rumah di surga yang terbuat dari mutiara, di dalamnya tidak ada suara keras (hiruk pikuk) dan juga tidak ada keletihan.” [HR. Imam Bukhooriy dan Imam Muslim]

Oleh karena itu, ketika Siti Khodijah RAnha wafat, bertambahlah beban dakwah yang harus dipikul Nabi SAW.



No comments:

Post a Comment