![Image result for IsraĆ¢ Mi'raj dengan ruh dan jasad](https://aswajanucenterjatim.com/wp-content/uploads/2017/04/isra-miraj.jpg)
“Maha Suci ALLooh, yang telah memperjalankan hamba-Nya…” [QS.
Al-Isro’:1]
Ketika menceritakan perjalanan
Isro’ Mi’roj, ALLooh dalam wahyu-Nya tersebut menggunakan kata “hamba-Nya”,
agar kita memperhatikan dua hal penting. Pertama, Isro’ Mi’roj tersebut berlaku
dengan ruh dan jasad dan bukan dalam keadaan tidur. Kata “hamba” hanya
digunakan untuk menyebut seseorang yang ruh dan jasadnya bersatu. Orang-orang
musyrik tidak mempercayai Isro’ Mi’roj tiada lain karena peristiwa tersebut
berlangsung dengan ruh dan jasad beliau SAW. Seandainya Isro’ Mi’roj
berlangsung dalam mimpi, maka mereka tidak akan mengingkarinya. Sebab, bukanlah
hal yang luar biasa ketika seseorang bermimpi pergi ke Masjidil Aqsho dalam
sekejap mata. Jika kita bermimpi pergi ke Mekkah, dari Indonesia dalam sehari
semalam 50 kali, maka tidak akan ada orang yang mendustakannya, karena hal
tersebut terjadi di alam mimpi. Kita tidak akan memperdebatkan sesuatu yang
terjadi di alam mimpi. Contohnya adalah mimpi raja yang berkuasa di zaman Nabi
Yusuf AS. ALLooh SWT berfirman:
“Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya
aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh
ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh
bulir lainnya yang kering.” Hai orang-orang yang terkemuka: “Terangkanlah
kepadaku arti mimpiku itu jika kalian dapat mengartikan mimpi.” [QS.
Yusuf:43]
Masuk akalkah
ucapan raja tersebut yang menyatakan bahwa sapi kurus memakan sapi gemuk? Apakah
diantara kita ada yang pernah melihat seekor sapi hidup makan sapi hidup
lainnya? Tentu saja hal ini tidak pernah terjadi. Akan tetapi ketika sang raja
menceritakan bahwa ia bermimpi melihat sapi makan sapi, apakah ada yang akan
membantah mimpinya? Tentu tidak, sebab apa yang terjadi dalam mimpi memang
sering kali di luar akal kita dan di alam mimpi hukum sebab akibat tidak
berlaku. Karena itulah mereka hanya berkata:
Mereka menjawab: “(Itu) adalah mimpi-mimpi
yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta’birkan mimpi itu.” [QS.
Yusuf: 44]
Kesimpulannya
adalah apa yang terjadi dalam mimpi tidak akan diperdebatkan, dibantah dan
dipertentangankan. Orang-orang kafir memperdebatkan dan membantah kebenaran
Isro’ Mi’roj tiada lain adalah karena peristiwa itu terjadi dalam keadaan jaga
dan dengan ruh serta jasad beliau, RosuuluLLooh SAW.
Kedua,ALLooh
ingin menunjukkan kepada kita semua bahwa penghambaan kepada-Nya merupakan
derajat tertinggi kedekatan manusia dengan ALLooh Tuhannya. Tiada kemuliaan
yang lebih mulia dari penghambaan kepada-Nya. Para ulama mengartikan kata ‘hamba’
dengan arti yang berbeda-beda sesuai kedudukan dan keadaan hatinya saat itu.
Imam Ibnu Athoillah menyatakan bahwa hamba adalah ia yang sadar bahwa dirinya
tidak memiliki apa-apa. Imam Ruwaim menyatakan bahwa menghamba artinya adalah
menyerahkan semua urusan kepada ALLooh dan menyadari bahwa dirinya sama sekali
tidak memiliki kemampuan dan kekuatan untuk berbuat apa pun. Semua adalah milik
ALLooh dan semua hanya dapat dilakukan dengan pertolongan ALLooh. Hamba ALLooh
adalah ia yang ikhlas melakukan penghambaan kepada ALLooh dan keinginannya
bersatu dengan aturan ALLooh. Apa yang ALLooh perintahkan mereka tunaikan dan
apa yang ALLooh larang, mereka tinggalkan.
Karena itu, ketika menceritakan hamba-hamba-Nya yang ikhlas, di dalam
Al-Qur’an, ALLooh menggunakan kata ‘ibad’. Perhatikan wahyu ALLooh berikut:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang
mengandung) keselamatan.” [QS. Al-Furqon:63]
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan Rochmah dari sisi Kami, dan
yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada
Khidir: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” [QS. Al-Kahfi:
65-66]
Dalam ayat
di atas, ALLooh ingin menunjukkan bahwa derajat tertinggi di sisi-Nya adalah
derajat penghambaan. Kita semua mengetahui bahwa Nabi Musa AS merupakan
kalimuLLooh, artinya ALLooh mengajak Nabi Musa untuk berbicara langsung
dengannya. Akan tetapi ALLooh menyatakan bahwa saat itu ada salah seorang hamba
ALLooh yang lebih berilmu dari Nabi Musa, bahkan beliau pun mengikutinya agar
dapat belajar dari hamba tersebut. Hal ini ALLooh sampaikan karena ALLooh ingin
memberitahukan kepada kita semua bahwa penghambaan kepada-Nya merupakan derajat
kemuliaan tertinggi seorang manusia. Sebagai bukti, saat menceritakan kisah
Nabi Musa dengan Nabi Khidir AS, ALLooh tidak menyebut Nabi Khidir sebagai
Rosul, akan tetapi sebagai seorang hamba. Nabi Khidir mencapai derajat yang
tinggi di sisi ALLooh sehingga ALLooh memberinya limpahan ilmu yang tidak
ALLooh berikan kepada Nabi Musa AS.
Kesimpulannya
adalah ketika menceritakan kisah Isro’ Mi’roj, ALLooh menggunakan kata ‘hamba-Nya’
adalah karena ALLooh ingin memberitahukan kepada kita semua bahwa peristiwa itu
terjadi dalam keadaan jaga dengan ruh dan jasad beliau SAW, serta penghambaan
kepada ALLooh merupakan derajat yang sangat tinggi di sisi ALLooh.
Penghambaan
kepada ALLooh merupakan sebuah kemuliaan bagi manusia, sedangkan penghambaan
kepada manusia merupakan sebuah kerendahan dan kehinaan. Sebab, manusia yang
memperbudak orang lain berkeinginan untuk mengambil semua kebaikan budaknya,
menghapus semua hak dan hartanya, sedangkan ALLooh berbuat yang sebaliknya.
ALLooh justru akan memuliakan dan memberikan semua kebaikan kepada manusia yang
menjadi budak-Nya.