Wednesday, 23 October 2019

Prosentase Kesalehan Manusia

Image result for Keshalehan ManusiaDi dalam Al-Qur’an banyak kita jumpai beraneka ragam redaksi sumpah. Pertama, ALLooh SWT sumpah dengan menyebut benda, “Wasysyamsi wal qomarri.”, “Wassamaa’i wath thooriq”. Kedua, ALLooh SWT bersumpah dengan nama buah-buahan, “Wattini wazzaitun”. Ketiga, menggunakan nama negara atau nama bukit, “Waturisinina”. Keempat, menggunakan masa (waktu) dan ini yang paling banyak kita jumpai. Misalnya, “Wallaili idza yaghsya wannahari tajalla”, “wallaili idza ‘as’as wassubhi idza tanaffas”, “wal fajri walaylil asyr”. Ada waktu subuh, malam, siang dan fajar. Jadi semua waktu hampir digunakan ALLooh SWT untuk bersumpah dan redaksipun tergantung dengan sasarannya.

ALLooh SWT bersumpah, “Wal ashri innal insana lafi husri” artinya dan demi masa sungguh manusia itu benar-benar dalam kerugian. Dari sisi gramatikal arab di situ ada tiga penguat (taukit), yakni sumpah, huruf inna dan lam. Semua manusia akan merugi kecuali orang yang beriman (kecerdasan spiritual), dan berbuat kebaikan (kecerdasan fisik), berwasiat tentang kebenaran (kecerdasan intelektual), berwasiat tentang kesabaran (kecerdasan emosional). Dan ini semua harus ada dalam diri manusia.

Orang yang beriman harus berbuat kebaikan. Sebab tidak semua manusia mempunyai sifat khasyah (rasa takut). Artinya iman seseorang belum menjamin seseorang berperilaku baik, iman seseorang belum menjamin lahirnya rasa takut kepada ALLooh SWT. Iman kepada hari kiamat belum tentu mengikis sifat rakus dan tamak, Iman kepada Nabi belum tentu menjadikan nabi sebagai panutan (uswah), kita sering kagum dan memuji kepada nabi tapi tidak menjadikan nabi sebagai panutan (uswah).

Michael Hart menulis buku tentang kekaguman kepada nabi dari sisi politik tapi dia tidak beriman kepada ALLooh SWT dan nabi-Nya. Kehebatan Nabi yang perlu kita lihat itu dari sisi basyariyahnya. Berbeda dengan nabi-nabi yang lain yang mana nilai basyariahnya (sifat kemanusiaannya) kurang terlihat. Seperti Nabi Musa, Nabi Isa dan sebagainya. Sehingga saat ummat Nabi Musa ditinggal selama 40 hari ummatnya kembali kafir, begitu juga dengan Nabi Isa saat diangkat ke langit ummatnya menjadi bingung. Hal ini dikarenakan sisi basyariyahnya kurang terlihat. Nabi Muchammad SAW dari sisi basyariyahnya sangat terlihat. Dalam sholatpun basyariyahnya Nabi sangat tampak, yakni saat sholat jama’ah, ada jama’ah yang anaknya menangis Nabi pun memilih surat yang pendek.

Jadi, keimanan kita kepada Nabi Muchammad SAW tidak secara otomatis menjadikan beliau sebagai panutan. Oleh karena itu kita terkena hukum taklif. Sebab mukmin itu hanyalah bentuk keterikatan eskatologi agama. Oleh karena itu, orang yang beriman (aamanu) harus beramal kebaikan (wa’amilus sholihah). Dan sebaliknya orang yang beramal baik belum tentu beriman, buktinya ada orang yang tidak iman akan tetapi punya sifat amanah. ALLooh SWT berfirman, “Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika niscaya dia mengembalikannya kepadamu.” [QS. Ali Imron: 75] Sebab amal kebaikan itu tidak ada hubungan vertikal, tetapi jga masalah-masalah tabi’at (karakter). Misalnya watak uluhiyyah (ketuhanan), banyak orang yang sombong, seenaknya sendiri seperti ALLooh SWT. Dan yang pantas untuk sombong hanyalah ALLooh SWT. Watak anarkis (sab’iyyah) dan ada watak hiprokit (syaitoniyyah) dan sebagainya.

Selanjutnya adalah kecerdasan intelektual, tingkat pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya. Dan yang terakhir kecerdasan emosional sehingga bisa membuat orang cepat beradaptasi dan menerima. Dan ini yang digunakan para wali dalam berdakwah yakni akulturasi budaya (pendekatan emosional).

Jadi kalau semuanya dibagi secara prosentase sebagai berikut. Kesalehan individual itu diwujudkan dalam iman (amanu) 25%, kesalehan sosial itu diwujudkan dengan beramal kebaikan (‘amilu ash-sholihah) 25%, kesalehan intelektual (watawasaubil haq) 25%, kesalehan emosional (watawasaubis shobr) 25%. Artinya manusia yang tidak mengalami kerugian adalah orang yang 75% waktunya didedikasikan dirinya untuk kemaslahan sesama. Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Thursday, 17 October 2019

Pertolongan Gaib di Perang Uhud


Image result for Pertolongan Gaib di Perang UhudSa’d bin Abi Waqqash dan Tholhah bin Ubaidillah memang dikenal  sebagai para pemanah ulung di Jazirah Arab. Mereka terus melepaskan anak panah, sehingga bisa menghalau orang-orang Musyrik agar menjauh dari RosuuluLLooh SAW. Beliau SAW membantu mengeluarkan anak panah dari tabungnya lalu diserahkan kepada Sa’d bin Abi Waqqash, seraya bersabda, “Panahlah terus demi ayah dan ibuku sebagai tebusanmu.”

Imam An-Nasa’I telah meriwayatkan dari Sayyidina Jabir tentang kisah orang-orang Musyrik yang mengepung RosuuluLLooh SAW. Sayyidina Jabir menuturkan, “Lalu orang-orang musyrik tahu posisi RosuuluLLooh SAW karena itu beliau bersabda, bagian siapakah orang-orang itu?”, “Bagianku,” jawab Tholhah.

Tholhah maju dan bertempur menghadapi sebelas orang hingga jari-jari tangannya terputus. Dia berkata, “rasakan kamu!”. RosuuluLLooh SAW menyahut, “Andaikan engkau berucap BismiLLaah, tentu para malaikat akan mengangkatmu dan orang-orang bisa melihatmu.” Kemudian ALLooh SWT membuat orang-orang musyrik itu mundur.

Disebutkan dalam riwayat Imam Hakim, bahwa dia mendapat tiga puluh sembilan atau tiga puluh lima luka pada perang Uhud dan jari-jari tangannya putus. Imam Bukhori meriwayatkan dari Sayyidina bin Abu Hazim, dia berkata, “Kulihat jari-jari tangan Tholhah terpotong, karena melindungi Nabi Muchammad SAW pada perang Uhud.”

Imam Tirmidzi meriwayatkan bahwa saat itu Nabi Muchammad SAW bersabda tentang diri Tholhah, “Barangsiapa ingin melihat orang mati syahid yang berjalan di muka bumi, hendaklah dia melihat Tholhah bin Ubaidillah.” Imam Abu Daawud Ath-Thoyasili meriwayatkan dari Siti Aisyah, dia berkata, “Jika Abu Bakar mengingat perang Uhud, maka dia berkata, hari itu semuanya milik Tholhah bin Ubaidillah, sudah selayaknya jika engkau mendapat surge dan duduk di atas Kristal-kristal mutiara yang indah.”

Pada saat yang kritis itu ALLooh SWT menurunkan pertolongan secara ghoib. Di dalam Ash-Shohihain dari Sa’d, dia berkata, “Kulihat RosuuluLLooh SAW pada saat perang Uhud bersama dua orang yang bertempur dengan gigih, mengenakan pakaian berwarna putih. Dua orang itu tidak pernah aku lihat sebelum maupun sesudah itu.” Dalam suatu riwayat disebutkan, bahwa dua orang itu adalah malaikat Jibril dan Mikail.

Berkumpul di Sekitar RosuuluLLooh
Semua peristiwa ini berjalan dengan cepat. Orang-orang Muslim pilihan yang bertempur di front terdepan hampir tidak tahu-menahu perkembangan situasi demi situasi. Saat terdengar suara RosuuluLLooh SAW, mereka segera menghampiri beliau.  Namun saat mereka tiba, beliau sudah mendapatkan luka-luka tersebut. Enam orang Anshor sudah terbunuh, orang yang ketujuh sudah tidak mampu berbuat apa-apa karena banyaknya luka dan Sa’d serta Tholhah bertempur mati-matian. Setelah tiba, mereka berdiri di sekitar beliau menjadikan badan dan senjata mereka sebagai pagar. Dengan begitu mereka bisa melindungi beliau dari serbuan musuh dan bisa membalas serangan mereka. Orang yang pertama kali di dekat beliau adalah Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Siti Aisyah, dia berkata, “Abu Bakar Ash-Shiddiq berkata, pada waktu perang Uhud semua orang hendak menghampiri RosuuluLLooh SAW. Aku adalah orang yang pertama kali menghampiri beliau. Kulihat di hadapan beliau ada seseorang yang bertempur menjaga dan melindungi beliau. Aku berkata, panahlah wahai Tholhah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu. Aku tidak begitu bisa melihat sosok Abu Ubaidah, karena dia bertempur seperti seekor burung, hingga akhirnya aku bisa mendekatinya. Lalu kami bersama-sama mendekati Nabi Muchammad SAW, yang ternyata saat itu Tholhah sudah tersungkur di tanah hadapan beliau. Beliau bersabda, biarkan saja saudaramu, toh dia sudah berada di surge. Saat itu beliau terkena lemparan anak panah pada bagian tulang pipinya hingga melepaskan dua keping lingkaran topi besinya yang ada di bagian itu. Aku mendekati beliau untuk melepas dua keping rantai topi besi di kepala beliau. Abu Ubaidah berkata demi ALLooh, aku memohon kepadamu wahai Abu Bakar, biarlah kutangani sendiri.”

Lalu kami menghampiri Tholhah untuk mengurusinya. Ternyata dia mendapat luka lebih dari sepuluh luka.

Tak seberapa lama setelah melewati saat-saat yang kritis ini, ada beberapa sahabat yang sudah berhimpun di sekitar beliau, seperti Abu Dujanah, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abi Tholib, Sahl bin Hanif, Malik bin Sinan, ayah Abu Sa’id Al-Khudri, Ummu Ammarah Nasibah binti Ka’b Al-Maziniyyah, Qotadah bin An-Nu’man, Umar bin Al Khoththob, Hathib bin Abu Balta’ah, dan Abu Tholhah.




Saturday, 12 October 2019

Qiblat, antara Syariat dan Hakikat


Image result for masjid qiblatain madinahSejak sebelum hijrah ke Madinah, ALLooh SWT memerintahkan RosuuluLLooh SAW dan para sahabat untuk mengganti arah kiblat dari Ka’bah ke arah Masjidil Aqsho, hal itu berlangsung hingga beliau hijrah ke Madinah. Lebih dari setahun mereka sholat menghadap Masjidil Aqsho.

Orang Mekkah menyebutnya Masjidil Aqsho yang berarti masjid yang jauh, karena tempatnya yang jauh dari Makkah. Ia juga disebut dengan Baitul Maqdis (rumah suci), ia adalah masjid yang dibangun oleh Nabi Adam AS setelah Ka’bah kemudian dibangun ulang oleh Nabi Ibrohim AS dan direnovasi serta diperluas oleh Nabi Sulaiman AS. Nabi Sulaiman menjadikan Masjidil Aqsho sebagai bangunan yang megah, beliau menghiasi dinding-dinding serta atapnya dengan emas, perak dan batu-batu permata. Bangunan megah itu terawatdan tetap utuh sejak dibangun oleh Nabi Sulaiman itu, sampai akhirnya ia dihancurkan oleh pasukan Raja Majusi dari Iraq yang dibantu oleh pasukan Nasrani dari Romawi. Pasukan itu merusak Masjidil Aqsho serta memboyong emas dan batu-batu permatanya ke Iraq.

Dari zaman ke zaman, Masjidil Aqsho menjadi rumah suci dan qiblat bagi Nabi Ya’qub atau Isroil bin Ibrohim serta keturunan beliau yang dikenal dengan Bani Isroil atau bangsa Yahudi.

Seperti kita tahu, di Madinah terdapat banyak orang Yahudi yang dulunya memang menunggu kedatangan Nabi akhir zaman, maka ketika Nabi Muchammad SAW datang dan beliau berkiblat ke Masjidil Aqsho, tentu saja hal itu membuat orang Yahudi gembira dan diharapkan lebih mudah menerima Nabi Muchammad SAW. Selain itu, kedatangan Nabi Muchammad SAW juga menjadi sebab perdamaian dua suku Aus dan Khozroj, sebelumnya kedua suku itu selalu berperang sehingga mengganggu perekonomian Madinah yang saat itu dikuasai orang Yahudi.

Awalnya orang Yahudi Madinah gembira, karena orang yang mengaku Nabi akhir zaman itu ibadahnya menghadap Masjidil Aqsho, apalagi berhasil mengamankan Madinah dari perang suku sehingga menguntungkan mereka dalam hal perekonomian. Namun mereka kemudian mulai merasa iri, karena Nabi akhir zaman itu bukan dari keluarga mereka, bukan keturunan Isroil bin Ibrohim, melainkan keturunan Ismail bin Ibrohim. Merekapun mulai mencari-cari alasan untuk mendustakan Nabi Muchammad SAW.

Naluri Iman dan Kemanusiaan
Sementara itu, ketika Nabi Muchammad diperintah untuk mengganti Qiblat dari Ka’bah kea rah Masjidil Aqsho, secara naluri kemanusiaan beliau merasa berat, demikian juga dengan para sahabat. Sejak kecil mereka sudah terbiasa dengan menghormati Ka’bah, kini mereka harus menghadap kea rah Masjidil Aqsho, sementara Ka’bah ada didekat mereka. Maka mereka sedang diuji dengan kiblat baru itu, apakah mereka lebih mengikuti naluri kemanusiaan atau naluri iman. Para sahabat ikut Nabi Muchammad bukan karena beliau mempertahankan tradisi leluhur, buktinya mereka tetap ikut beliau walaupun harus ganti Qiblat. Mereka ikut beliau karena terlihatnya kebenaran, bukan karena fanatic golongan dan tradisi.

Kemudian, untuk menenangkan hati Nabi Muchammad dan para sahabat yang sedang pindah Qiblat itu, ALLooh mengingatkan mereka bahwa di arah manapun mereka akan menjempai ALLooh. ALLooh SWT berfirman dalam surat Al-Baqoroh ayat 115 yang artinya : “Dan milik ALLooh lah timur dan barat, kemanapun kalian menghadap maka di situlah qiblat ALLooh, sesungguhnya ALLooh itu Maha Luas dan Maha Mengetahui.”

Satu arah yang ditentukan itu hanya untuk memantapkan kepasrahan dan menyatukan barisan dalam beribadah secara berjamaah. Kalau tidak, maka sejatinya ALLooh akan dijumpai di setiap arah. Qiblat sesungguhnya bukan kemana wajah menghadap, tapi ke mana hati menghadap. Dengan demikian, diharapkan kekhusyu’an para sahabat di dalam sholat mereka tidak tidak terganggu oleh pergantian qiblat itu.

Tidak lama kemudian ALLooh SWT memerintahkan Nabi Muchammad SAW untuk kembali berqiblat ke Ka’bah, Qiblat yang memang dibangun pertama kali dan dijadikan sebagai Qiblat satu-satunya di akhir zaman. Perintah kembali ke Qiblat awal itu sangat unik, karena perintah itu turun ketika beliau sedang dalam rokaat sholat dzhuhur berjamaah, saat itu beliau sholat di rumah seorang perempuan bernama Ummu Bisyr yang mengundang beliau makan siang. Ketika melihat RosuuluLLooh SAW tiba-tiba berbelok kea rah Makkah (Ka’bah), para sahabat yang berjamaah di belakang beliau faham telah turun perintah kembali berqiblat ke Ka’bah, merekapun langsung mengatur barisan dengan rapi sehingga semua berbaris lurus di belakang RosuuluLLooh menghadap ke Ka’bah. Sholat Dzhuhur itupun dilakukan dengan dua qiblat, dua rokaat menghadap Masjidil Aqsho dan dua rokaat menghadap Ka’bah.

Setelah RosuuluLLooh SAW wafat, para sahabat ingin mengenang kejadian itu, mereka memohon kepada Ummu Bisyr untuk menjual rumahnya, mereka akan menjadikan rumah itu sebagai masjid, namun Ummu Bisyr tidak mau menjualnya, melainkan mewaqofkannya sebagai masjid, maka rumah itupun dibangun sebagai masjid dan diberi nama Masjid Qiblatain (Masjid Dua Qiblat). Sampai kini Masjid Qiblatain menjadi salah satu situs bersejarah di kota Madinah.

Monday, 7 October 2019

Merahasiakan Misi, Awal Kesuksesan


Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan teks“Ista’iinuu ‘alaa injaachil chawaaiji bil kitmaani fainna kulli dzi ni’matin machsuud”
Artinya: “Mohonlah pertolongan dalam meloloskan hajat kalian dengan cara menyembunyikannya. Sebab setiap orang yang mendapatkan anugerah nikmat menjadi sasaran kedengkian.” [HR. Imam Abu Nu’aim dari sahabat Sayyidinaa Mu’adz bin Jabal]

Kalau ingin misi dan tujuan kita sukses Nabi Muchammad SAW memberi perintah agar kita menyembunyikan dan menutupnya dengan baik. Sebab kalau kita mempunyai misi penting dan kita tidak menutupnya dengan baik, maka banyak orang yang dengki dan iri. Setiap orang yang mempunyai nikmat atau akan mendapatkan nikmat yang besar, pasti ada orang yang dengki. Oleh karena itu agar misi dan tujuan kita bisa sukses dan berjalan lancer, pandai-pandailah menutupnya dengan baik. Sehingga orang tidak perlu mengetahui prosesnya. Contoh kecil saja saat kita di pesantren mencintai seorang gadis, maka kita jangan menceritakan dan bertanya kepada teman-teman yang lain. Kalau kita menceritakan atau bertanya tentu banyak santri yang mengetahui, sehingga sulit untuk mendapatkan gadis tersebut. Atau ada seseorang yang ingin mencalonkan menjadi pejabat, maka dia harus pandai-pandai menutupi misinya. Kalaupun bergerak biarkan orang lain, sehingga saat penetapan anggota tiba-tiba dia yang menang. Mengapa kita harus pandai menutupi misi atau tujuan kita? Sebab hal-hal yang besar, penting itu pasti ada yang mendukung (pro) dan ada yang menentang (kontra). Dan, yang pasti ada orang yang iri, ada orang yang dengki, maka pandai-pandailah menutupinya agar misi tersebut sukses.

Senada dengan hadits di atas adalah, “Sembunyikanlah proses dalam mengkhitbah (melamar), dan ramaikanlah pernikahanmu.” Kalau masih proses meminta, melamar calon istri (khitbah) maka sembunyikanlah. Kalau sudah sukses dan siap untuk menikah maka ramaikanlah. Mengapa demikian? Berikut beberapa tujuan dan hikmahnya:

Pertama, kalau calon istrimu itu cantik dan banyak orang yang mengetahui maka kemungkinan orang lain akan berusaha mendapatkannya. Sehingga misi kita tidak sukses, atau sulit meraih kesuksesan.

Kedua, dari keluarga calon istri itu tentu harus menjaga nama baik keluarga. Kalau terlanjur melamar secara ramai-ramai, banyak orang yang mengetahui dan ternyata tidak jadi menikah, maka hal ini akan membuat malu bagi keluarga calon istri. Dan untuk menjaga hal tersebut RosuuluLLooh SAW bersabda, “sembunyikanlah proses khitbah dan ramaikanlah proses pernikahan.”

Mengapa ada orang yang dengki atas sebuah kenikmatan? Itulah yang namanya dunia. Jangan berharap di dunia itu berjalan secara lancer dan sukses tanpa adanya halangan. Selama masih di dunia sebaik-baiknya orang tentu mempunyai keburukan, dan sejelek-jelek orang tentu mempunyai kebaikan. Dari sekian banyak orang yang mendukung kita tentu ada beberapa orang yang tidak mendukung.

Ketiga, hikmah dari sisi ilmu fiqih, ALLooh SWT memang sengaja tidak membuat sempurna. Sebab kalau ALLooh SWT membuat sempurna. Misalnya semua orang Islam sepakat (ijma’) mengatakan A, maka nanti yang tidak A sama halnya menentang ijma’ (kesepakatan) dan itu namanya murtad. Agar sewaktu-waktu karena sebuah kemaslahatan kalau beda itu tidak sampai murtad, maka ALLooh SWT sengaja tidak membuat sempurna.

Dulu saat NU kembali ke khittah (netral/ tidak berpolitik) dan hal ini agar tidak sempurna maka ada beberapa tokoh NU yang mendukung beberapa partai tertentu. Dan ini bertujuan untuk mewadahi barangkali ada ummat yang kurang setuju dengan NU yang bersikap netral. Mungkin ada kader NU yang dari awalnya dia memang aktif dalam partai tertentu. Andai saja saat Muktamar NU di Situbondo itu sepenuhnya (sempurna) tokoh NU mutlak tidak berpolitik maka nanti kalau ada kader NU yang mempunyai kepentingan dalam partai tertentu, maka seakan-akan dia keluar dari ijma’ ulama. Jadi dari sinilah perlunya kita itu bersikap beda. Sewaktu-waktu ada kemaslahatan masih ada jalan untuk mengambil kemaslahatan tersebut, meskipun harus berbeda.

Keempat, agar pahala kita bertambah. Dan terlalu enak kalau kita akan menikah tidak ada kesulitan, kalau kita berdakwah tidak ada halangan dan sebagainya. Dan dari situ akan menghasilkan mental yang kurang tangguh dan ulet. Sehingga perlu adanya orang yang dengki kepada kita. Akan tetapi kalau dengki janganlah sampai melewati batas. Sebab kalau mental kita kurang tangguh sementara kedengkian orang lain terlalu berlebihan maka kita sendiri yang terjatuh.


WALLOOHU A'LAM BISH SHOWAAB

Berapa Persen Sholat yang Diterima ALLooh?


Image result for Berapa Persen Shalat yang Diterima ALLah?Sholat merupakan ibadah yang paling utama bagi ummat Islam. Namun, kenyataannya masih banyak ummat Islam yang belum mau melaksanakan sholat. Sementara, yang sudah melaksanakan sholat, juga masih banyak yang sholatnya menggugurkan kewajiban. Banyak di antara kita ketika sholat tidak memperhatikan adab dan kualitas sholatnya.

Perlu kita sadari, bahwa sholat merupakan ibadah yang sangat spesial. Karena dengan sholat kita sedang menghadap Raja Diraja, Sang Pemilik alam semesta.

Dzat Yang Maha Agung. Mari kita renungkan, bagaimana keadaan kita ketika melaksanakan sholat. Sudahkah kita menyadari dengan segenap jiwa raga, kepada siapa kita menghadap ketika sholat.

Ketika kita akan menghadap pejabat kita mempersiapkan diri sedemikian rupa. Pakaian dipilih yang paling baik. Sebelum waktu pertemuan sudah bersiap-siap. Kita takut membuat pejabat yang akan ditemui kecewa. Atau kita tidak ingin ditolak oleh pejabat tersebut.

Lalu bagaimana dengan pertemuan dengan Sang Serba Maha. Kita sering kali menyepelekan pertemuan agung dalam sholat. Pakaian seadanya, kadang kusut dan kurang patut.

Lalu dalam melaksanakan sholat, kita sering melakukan sekenanya. Kurang memperhatikan sunnah-sunnah dan adab-adab yang menjadi syarat kesempurnaan sholat. Sekaligus menjadi syarat diterimanya sholat oleh ALLooh SWT.

Keagungan ALLooh SWT mestinya hadir dan berada di hati kita. Dengan begitu, kita tidak akan main-main dalam melaksanakan sholat. Bukankah tidak ada orang yang bermain-main saat menghadap dan berbicara dengan seorang raja atau presiden.

Dalam sholat seseorang menghadap ALLooh, Maha Raja yang Maha Suci Maha Sempurna Maha Kuasa Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Segalanya.

Khusyu’ berarti hadirnya hati di hadapan ALLooh SWT, sambil mengkonsentrasikan hati agar benar-benar merasa dekat kepada ALLooh SWT.

Sholat kondisi seperti ini akan membuat hati tenang, gerakan-gerakan thuma’ninah, serta menjaga adab di hadapan ALLooh Yang Maha Agung. Dengan demikian, kita insyaaALLooh bisa menjaga konsentrasi terhadap apa yang kita ucapkan dan yang kita lakukan dalam sholat dari awal sampai akhir.

Jauh dari was-was dan pemikiran duniawi. Ini merupakan ruhnya sholat. Sholat yang tidak ada kekhusyukan adalah sholat yang tidak ada ruhnya.

Bandingkan dengan kita, saat sholat pikiran kita melayang kemana-mana. Wajahnya menghadap ka’bah, tapi hati dan pikirannya entah kemana.

Padahal RosuuluLLooh SAW telah memberikan peringatan, bahwa banyak ummat manusia yang tidak mendapat pahala sholatnya.

Ia hanya mendapat kepayahan dan keletihan. RosuuluLLooh SAW bersabda: “Betapa banyak orang yang mengerjakan sholat namun ia hanya mendapatkan lelah dan capek dari sholatnya itu.” [HR. Imam Ad-Daromiy, Imam Achmad dan Imam Ibnu Majah]

RosuuluLLooh SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang hamba selesai dari sholatnya dan dia tidak mendapatkan dari sholatnya kecuali sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya, atau setengahnya.” [Musykilul Atsar]

Demikian pula, disebutkan dalam riwayat yang lain. Sholat yang akan diterima ALLooh adalah bagian sholat yang dia ingat atau sadari.

Bisa saha hanya 80%, 50%, 20%, bahkan hanya 5% saja. Sebagaimana dawuh kanjeng Nabi SAW, “Sungguh seorang hamba sholat dengan satu sholat, tidak ditulis baginya (pahala) seperenam atau sepersepuluhnya. Namun sholatnya ditulis apa yang dipahaminya.” [Hilyatul Auliya’]

Beliau juga bersabda, “Seorang hamba tidak mendapatkan bagian sholat kecuali bagian yang dia berakal pada mengerjakannya.”

Misalnya ketika sujud saja dia mengingat ALLooh SWT, maka pahala yang diterimanya adalah pahala untuk sujud, misal dalam melaksanakan sholat hanya khusyu’ saat ruku’, maka pahala yang didapat adalah pahala ruku’ saja.

Salah satu upaya agar sholat kita menjadi utuh pahalanya adalah dengan melaksanakan sholat berjamaa’ah.

WALLOOHU A’LAM BISH SHOWAAB

Saturday, 5 October 2019

Sejarah Penafsiran Al-Qur’an

Tafsir Al-Qur’an telah melalui lintasan sejarah yang sangat panjang. Dimulai pada masa RosuuluLLooh SAW berlanjut sampai ulama terdahulu dan ulama di zaman modern.

Pada Masa Nabi
Hasil gambar untuk Sejarah Penafsiran Al-Qur’anPada masa nabi, masa diturunkannya Al-Qur’an beliau sendiri berfungsi sebagai mubayyin, atau penafsir pertama kepada para sahabat-sahabatnya tentang kandungan daripada ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagaimana telah disebutkan dalam Al-Qur’an: “Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya.” [QS. An-Nal: 44]

Pada Masa Sahabat
Setelah RosuuluLLooh SAW wafat, para sahabat terpaksa melakukan ijtihad terutama mereka yang mempunyaii kemampuan seperti Sayyidina Ali bin Abi Tholib, Sayyidina AbduLLooh bin Abbas, Sayyidina Ubay bin Ka’ab dan Sayyidina AbduLLooh bin Mas’ud dan seterusnya. Para sahabat dalam memahami Al-Qur’an berdasarkan pengetahuan global karena Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, sedang pemahaman mereka tentang detail-detailnya atas Al-Qur’an diperoleh dari penjelasan dari hadits-hadits Nabi Muchammad SAW.

Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Qur’an adalah Sayyidina AbduLLooh bin Mas’ud, Sayyidina AbduLLooh bin Abbas, Sayyidina Ubai bin Ka’ab, Sayyidina Zain bin Sabit, Sayyidina Abu Musa Al-Asy’ari, Sayyidina AbduLLooh bin Zubair, Sayyidina Anas bin Malik, Sayyidina AbduLLooh bin Umar, Sayyidina Jabir bin AbduLLooh, Sayyidina AbduLLooh bin Amr bin Ash dan Siti Aisyah.

Penafsiran yang dilakukan para sahabat umumnya lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali (pengertian kosa kata secara global). Dan jarang mengistinbathkan hukum-hukum fiqhiyah dari ayat-ayat Al-Qur’an. Pada masa itu, penafsiran umumnya dilakukan dengan menguraikan hadits dan tafsir Al-Qur’an sama sekali belum dibukukan.

Pada Masa Tabi’in
Setelah generasi sahabat berakhir, generasi berikutnya adalah Tabi’in. Masa tabi’in penfasiran mengalami perkembangan pesat. Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah dan di daerah lainnya. Metode penafsiran yang dilakukan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir di antaranya:
1.       Madrasah Makkah atau Madrasah Sayyidina AbduLLooh bin Abbas. Sayyidina AbduLLooh bin Abbas mengajarkan tafsir Al-Qur’an kepada para tabi’in dan menjelaskan hal yang musykil dari makna lafadz Al-Qur’an. Murid-murid beliau diantaranya: Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Thowus Al-Yamaniy, dan Atho’ bin Abi Robah.
2.       Madrasah Madinah atau Madrasah Sayyidina Ubay bin Ka’ab yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muchammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
3.       Madrasah Iraq atau Madrasah Sayyidina AbduLLooh bin Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry, dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy. Sayyidina AbduLLooh bin Mas’ud ditunjuk sebagai guru yang dalam penafsiran Al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in Iraq.

Pada Masa Pembukuan
Tafsir pada masa Rosul, sahabat, dan tabi’in diajarkan dengan periwayatan dan talqin (dibacakan oleh guru kepada murid). Kalaupun ada pembukuan pada masa itu, maka itu hanya sedikit saja. Adapun masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijriyah, bersamaan dengan disusunnya kitab hadits berdasarkan bab-babnya.

Pada masa ini, tafisr telah menjadi ilmu tersendiri dan dibukukan secara terpisah. Selanjutnya tafsir telah disusun berdasar urutan mushaf. Pada masa ini, tafsir tidak hanya berlandas pada RosuuluLLooh, sahabat dan tabi’in, namun telah bercampur dengan pendapat akal manusia (ro’yi).

Pada masa ini terjadi spesialisasi dalam pembukuan tafsir. Para fuqoha’ menyusun tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan fiqh, seperti Al-Qurthubi. Para ahli sejarah menafsirkan ayat-ayat yang mengandung sejarah, seperti Ats-Tsa’labiy dan bidang-bidang keilmuan lainnya.