ALLooh SWT bersumpah, “Wal ashri
innal insana lafi husri” artinya dan demi masa sungguh manusia itu benar-benar
dalam kerugian. Dari sisi gramatikal arab di situ ada tiga penguat (taukit),
yakni sumpah, huruf inna dan lam. Semua manusia akan merugi kecuali orang yang
beriman (kecerdasan spiritual), dan berbuat kebaikan (kecerdasan fisik),
berwasiat tentang kebenaran (kecerdasan intelektual), berwasiat tentang
kesabaran (kecerdasan emosional). Dan ini semua harus ada dalam diri manusia.
Orang yang beriman harus berbuat
kebaikan. Sebab tidak semua manusia mempunyai sifat khasyah (rasa
takut). Artinya iman seseorang belum menjamin seseorang berperilaku baik, iman
seseorang belum menjamin lahirnya rasa takut kepada ALLooh SWT. Iman kepada
hari kiamat belum tentu mengikis sifat rakus dan tamak, Iman kepada Nabi belum
tentu menjadikan nabi sebagai panutan (uswah), kita sering kagum dan memuji
kepada nabi tapi tidak menjadikan nabi sebagai panutan (uswah).
Michael Hart menulis buku tentang
kekaguman kepada nabi dari sisi politik tapi dia tidak beriman kepada ALLooh
SWT dan nabi-Nya. Kehebatan Nabi yang perlu kita lihat itu dari sisi
basyariyahnya. Berbeda dengan nabi-nabi yang lain yang mana nilai basyariahnya
(sifat kemanusiaannya) kurang terlihat. Seperti Nabi Musa, Nabi Isa dan
sebagainya. Sehingga saat ummat Nabi Musa ditinggal selama 40 hari ummatnya
kembali kafir, begitu juga dengan Nabi Isa saat diangkat ke langit ummatnya
menjadi bingung. Hal ini dikarenakan sisi basyariyahnya kurang terlihat. Nabi
Muchammad SAW dari sisi basyariyahnya sangat terlihat. Dalam sholatpun basyariyahnya
Nabi sangat tampak, yakni saat sholat jama’ah, ada jama’ah yang anaknya menangis
Nabi pun memilih surat yang pendek.
Jadi, keimanan kita kepada Nabi Muchammad
SAW tidak secara otomatis menjadikan beliau sebagai panutan. Oleh karena itu
kita terkena hukum taklif. Sebab mukmin itu hanyalah bentuk keterikatan eskatologi
agama. Oleh karena itu, orang yang beriman (aamanu) harus beramal kebaikan (wa’amilus
sholihah). Dan sebaliknya orang yang beramal baik belum tentu beriman, buktinya
ada orang yang tidak iman akan tetapi punya sifat amanah. ALLooh SWT berfirman,
“Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika niscaya dia mengembalikannya
kepadamu.” [QS. Ali Imron: 75] Sebab amal kebaikan itu tidak ada hubungan
vertikal, tetapi jga masalah-masalah tabi’at (karakter). Misalnya watak
uluhiyyah (ketuhanan), banyak orang yang sombong, seenaknya sendiri seperti
ALLooh SWT. Dan yang pantas untuk sombong hanyalah ALLooh SWT. Watak anarkis
(sab’iyyah) dan ada watak hiprokit (syaitoniyyah) dan sebagainya.
Selanjutnya adalah kecerdasan
intelektual, tingkat pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya. Dan yang
terakhir kecerdasan emosional sehingga bisa membuat orang cepat beradaptasi dan
menerima. Dan ini yang digunakan para wali dalam berdakwah yakni akulturasi
budaya (pendekatan emosional).
Jadi kalau semuanya dibagi secara
prosentase sebagai berikut. Kesalehan individual itu diwujudkan dalam iman
(amanu) 25%, kesalehan sosial itu diwujudkan dengan beramal kebaikan (‘amilu
ash-sholihah) 25%, kesalehan intelektual (watawasaubil haq) 25%, kesalehan
emosional (watawasaubis shobr) 25%. Artinya manusia yang tidak mengalami
kerugian adalah orang yang 75% waktunya didedikasikan dirinya untuk kemaslahan
sesama. Sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain.