Saturday, 10 October 2020

PERJUANGAN YANG DIDASARI KEIMANAN

 al-Maghfurlah KH. As'ad Syamsul Arifin



Ummat Islam terutama kalangan santri patut bersyukur. Salah satu ulama besar, KH. R. As'ad Syamsul Arifin, pengasuh Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo mendapat Gelar Pahlawan Nasional. KH. R. As'ad merupakan sosok ulama sekaligus pejuang. Gelar Pahlawan Nasional tersebut tertuang melalui Salinan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 90/TK/2016 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.




Upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dilakukan di Istana Negara pada pukul 13.00 WIB dengan dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi. Keppres Pahlawan Nasional diserahkan Presiden pada ahli waris keluarga, KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy yang kini menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Banyuputih Situbondo.


Sosok Kyai As'ad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya dalam melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total. Tidak segan, Kyai As'ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas penjajah.


Siapakah sosok fenomenal KHR. As'ad Syamsul Arifin itu? Kyai As'ad putra pertama dari KH Syamsul Arifin (Raden Ibrahim) yang menikah dengan Siti Maimunah. Kyai As'ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi'ib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram.


Garis keturunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni Kyai As'ad bin Kyai Syamsul Arifin bin Kyai Ruhan (Kyai Abdurrahman) bin Bujuk Bagandan (Sidobulangan) bin Bujuk Cendana (Pakong Pamekasan) bin Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) bin Raden Rahmat (Sunan Ampel).


Perjumpaan dalam menegakkan agama Islam Ahlussunah wal Jama'ah sungguh luar biasa. Termasuk Kyai As'ad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipastikan dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandraguna.


Kyai As'ad menempuhnya pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain: Sayyid Abbas Al-Maliki, Syaikh Hasan Al-Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan lain-lain.


Sepulangnya ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren: Ponpes Sidogiri (KH Nawawi), Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo (KH Khazin), Ponpes Kademangan Bangkalan (KH Kholil) dan Ponpes Tebuireng (KH Hasyim Asy'ari).


Wajar bila keilmuan agama Kyai As'ad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu itu, ia meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyah Syafi'iyah. Sejak 1938, Kyai As'ad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Al-Qur'an dan Ma'had Aly dengan nama Al-Ibrahimy (sesuai nama asal ayahandanya).


Pendirian NU

Peran Kyai As'ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama sangat nampak sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH. Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH. Hasyim Asy'ari memberi "tanda restu" pendirian NU.


Dua kali Kyai As'ad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan jalan kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua dilakukan dengan naik mobil angkutan.


Dua "restu" KH. Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan Surat Thoha ayat 17-23 dan bacaan dzikir: Yaa Jabbar Yaa Qohhar. Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. "Saya berhasil mau membentuk jam'iyyah ulama" tegas Mbah Hasyim di hadapan Kyai As'ad.


Atas jasa Kyai As'ad sebagai penyampai isyarat langit dari Syaikhona Kholil inilah, NU berdiri. Maka ada sebutan tiga serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri dari KH. Kholil, KH. Hasyim Asy'ari dan KH. As'ad Syamsul Arifin.


NU bagi Kyai As'ad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.


"Saya ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sbeab saya menerima NU dari guru saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga." tegas Kyai As'ad


Perjuangan Kyai As'ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, 10.000 orang yang ada di sana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As'ad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas TNI.


Ketegasan Kyai As'ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasilais tahun 1982/1983, NU merespons cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kyai As'ad.


Tanggal 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila.


Gagasan besar KH. Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH. As'ad bersama KH. Mahrus Ali, KH. Masykur dan KH Ali Ma'shum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH As'ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau dibunuh.


Itu semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kyai NU dan para Nahdliyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan NKRI.


Di usianya ke 93, ALLooh SWT memanggilnya Kyai As'ad. KH. As'ad Syamsul Arifin berpulang keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyah Syafi'iyah. Sumber: http://www.muslimmoderat.net


Gerilya

Kyai As'ad memiliki peran penting dalam merebut senjata Belanda. Beliau turun langsung berbaur dengan Bromocorah yang menjadi binaannya (disebut Pelopor) memimpin perebutan senjata sambil berpuasa pada 20 Juli 1947 untuk mendukung perlawanan gerilyawan atas agresi militer Belanda.


Para pelopor sebenarnya meminta Kyai As'ad untuk tidak turun langsung ke dalam hutan. Mereka khawatir terkena serangan Belanda. Namun, beliau bukan tipe orang yang suka duduk manis di atas kursi melihat orang lain bekerja. Beliau bersikeras ikut serta merebut senjata dan siap berperang melawan Belanda.


Kyai As'ad menyadari cinta tanah air bagian dari iman, dan pentingnya sebuah tanah air untuk mengamalkannya ajaran agama. Agama tanpa tanah air sulit untuk direalisasikan. Sementara tanah air tanpa agama akan amburadul. Keduanya ibarat sebuah mata uang, sisi yang satu dengan yang lain tak bisa dipisahkan.


Kyai As'ad menanamkan motivasi perjuangan kepada para pelopor. Dengan motivasi itu, para pelopor semangat menyusuri jalan cadas nan berbatu menanjak melintasi 100 desa, dan takut mati untuk memperoleh senjata demi mempertahankan tanah air sebagai bentuk pengamalan orang beriman.


"Kalian tidak boleh mundur. Kalau mati, akan syahid dan masuk surga. Namun, jika lari ke belakang, kalian akan meninggal dalam keadaan kafir." Dawuh Kyai As'ad kepada para pelopor sebelum berangkat merampas senjata Belanda.


Misi mengambil senjata tak mengalami hambatan berarti, namun satu anggota Pelopor tewas. Anggota Pelopor berhasil mengambil 24 senjata api dan amunisi, termasuk senapan jenis bren, sten gun, lee Enfield, mortir, light machine gun, serenteng peluru tajam dan granat.

Saturday, 26 September 2020

Ashim ibn Tsabit JASADNYA Dilindungi Lebah

Ashim ibn Tsabit Sahabat dari kalangan Anshor yang berasal dari suku Aus keturunan Bani Dhubay. Ia mendapat kemuliaan tersendiri di sisi ALLooh SWT. ALLooh SWT berfirman, "Kekuayiti hanyalah bagi ALLooh, bagi Rosul-Nya, dan bagi orang mukmin." [QS. Al-Munafiqun: 8]




Pertolongan ALLooh SWT sungguh Maha Luas. Dialah sebaik-baiknya penjaga bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Pertolongan ALLooh tiada habisnya diberikan kepada orang yang beriman siang dan malam, karena Dia tak pernah tidur atau pun lelah.


Ashim ibn Tsabit ibn Abu Al-Aqloh Al-Anshori Al-Ausi adalah orang yang sangat mencintai ALLooh dan Rosul-Nya serta kaum muslimin. Ia kerap disapa dengan nama Abu Sulaiman. Ia termasuk golongan yang disebutkan dalam firman ALLooh: "Orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang Muhajirin dan Anshor dan orang yang mengikuti mereka dengan baik. ALLooh ridho kepada mereka, dan mereka pun ridho kepada ALLooh, dan ALLooh menyediakan bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." [QS. At-Taubah: 100]


GOLONGAN PERTAMA

Ashim termasuk dalam golongan orang yang pertama-tama masuk Islam. Perang Badar menjadi medan pembuktian keimanan bagi kaum muslim. Perang itu menjadi ujian besar, karena mereka harus menghadapi pasukan yang jumlahnya lebih besar. Mereka sukses melewati ujian itu dan mendapat kemenangan yang besar. Ashim ikut serta dalam peperangan itu, ia menyaksikan para pemuka Quroisy terkapar berkalang tanah.


Suatu hari RosuuluLLooh SAW mengajukan pertanyaan kepada para sahabatnya tentang cara berperang, Ashim ibn Tsabit segera mengambil tombak dan perisainya, lalu menjawab, "Ketika musuh dekat, kira-kira 200 hasta, senjata yang harus digunakan adalah panah. Jika jarak mereka kira-kira sepenombak, gunakanlah tombak untuk bertempur sampai tombak kita patah. Jika tombak sudah patah, singkirkan tombak, dan gunakanlah pedang untuk pertarungan jarak dekat" Nabi SAW bersabda, "begitulah perang dijalankan, barangsiapa yang berperang hendaklah ia berperang seperti cara Ashim berperang."


Berbahagialah Ashim,. karena pandangannya diakui oleh seorang manusia yang paling mulia dan sangat memahami cara-cara berperang. Ashim sendiri adalah seorang dari empat orang kebanggaan suku Aus. Tiga orang lainnya adalah Sa'd ibn Muaz yang kematiannya menggetarkan Arsy, Hanzalah ibn Abu Amir yang jenazahnya dimandikan para malaikat dan Khuzaimah ibn Tsabit pemilik dua kesaksian. RosuuluLLooh SAW menyatakan bahwa kesaksian Hanzalah setara dengan kesaksian dua laki-laki, hanya Hanzalah seorang yang mendapatkan kemuliaan seperti itu.


Ashim ikut merasakan kecamuk perang Badar yang sangat dahsyat. Saat itu, kaum muslim menyaksikan bagaimana para pemuka kafir tewas terbunuh. Hari Badar menjadi salah satu bukti yang menegaskan kemuliaan Islam dan kesesatan kaum musyrik.


Pada perang Badar dan Uhud, Ashim membuktikan keberanian dan kepahlawanannya. Di perang Badar, RosuuluLLooh SAW menyuruhnya membunuh pemimpin Quroisy kedua setelah Abu Jahal, yaitu Uqbah ibn Abu Mu'ith, yang berhasil ditawan oleh pasukan Muslim. Dan saat perang Uhud, ia berhasil membunuh Musafi dan Kilab dua bersaudara putra Tholhah bin Abu Tholhah, keduanya terkapar oleh anak panah Ashim. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, salah seorang dari dua bersaudara itu berkata kepada ibunya bahwa orang yang memanahnya berkata, "Rasakanlah! Aku adalah Ibn Abu Al-Aqloh." Salafah bersumpah bahwa ia minum arak dari tengkorak kepala Ashim.


PERLINDUNGAN AJAIB

Pada tahun keempat Hijrah, datang para utusan dari beberapa penjuru jazirah ke Madinah. Mereka menghadap RosuuluLLooh SAW dan bersyahadat. Mereka memohon agar Beliau mengutus beberapa sahabat untuk mengajarkan agama dan membacakan Al-Qur'an kepada kaum mereka. Maka, Beliau menyuruh enam orang sahabatnya untuk mengemban tugas itu. Mereka adalah Martsad ibn Abu Martsad pimpinan rombongan, Ashim ibn Tsabit bin Abu Al-Aqloh, Kholid ibn Al-Bukair, Khubaib ibn Adi, Zaid ibn Al-Datsinah, dan Abdullah ibn Thoriq.


Namun, saat rombongan itu tiba di mata air Ar-Roji, milik suku Hudzail, keenam Sahabat itu dikepung. Ketika mereka meminta bantuan kepada suku Hudzail, tak seorang pun mau menolong. Tak ada jalan lain, mereka hunus senjata masing-masing dan siap bertarung. Namun, para penyerang itu berkata, "Demi ALLooh, kami tak ingin membunuh kalian. Kami ingin membawa kalian kepada penduduk Makkah agar kami mendapatkan imbalan." Mereka berjanji tidak akan menyakiti para sahabat itu, namun Martsad ibn Martsad, Ibn Al-Bukair, dan Ashim menolak tawaran mereka. Ketiganya berkata, "Demi ALLooh, kami tidak menerima janji atau ikatan apa pun dari orang musyrik."


Ketiga sahabat itu memilih bertarung hingga mereka terbunuh. Sementara tiga Sahabat lainnya, yaitu Zaid, Khubaib, dan Ibn Thoriq memilih ditawan, berharap mereka akan selamat di Makkah. Para penyerang itu memutuskan tali busur panah mereka, dan mengikat ketiga tawanan itu dengan tali busur tersebut. Baru beberapa saat rombongan itu berjalan, Abdullah ibn Thoriq berhasil melepaskan ikatan, lalu merebut pedang dan menyerang musuh. Sayang, musuh melihat upayanya itu dan langsung melemparkan batu besar ke arahnya hingga ia wafat. Jasadnya dikuburkan di daerah Zahron.


Mereka melanjutkan perjalanan menggiring Khubaib dan Zaid hingga tiba di Makkah. Zaid dibeli oleh Shofwan ibn Umayyah, sementara Khubaib dibeli oleh Hajar ibn Abu Ihab At-Tamimi untuk diberikan kepada Uqbah ibn Al-Harits ibn Amir. Keduanya dibeli untuk dibunuh sebagai balas dendam atas kematian anggota keluarga mereka dalam perang badar dan perang Uhud. Setelah berhasil membunuh Ashim ibn Tsabit, suku Hudzail bermaksud memenggal kepalanya untuk dijual kepada Salafah binti Sa'd yang pernah bersumpah akan minum arak dari tengkorak Ashim. Ketika mereka mendekati jasas Ashim, tiba-tiba gerombolan lebah menutupi tubuh Ashim bagaikan awan hitam. Mereka tak dapat mendekati apalagi menyentuh jasad Ashim untuk memenggal kepalanya. Lebah itu adalah tentara ALLooh, sebagaimana firman-Nya, "Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri." [QS. Al-Muddatsir: 30]


Menyaksikan kejadian tersebut, mereka berkata satu sama lain, "Lebih baik kita tunggu sampai malam hingga lebah-lebah itu pergi. Baru kemudian kita ambil jasadnya kembali." Saat mereka menunggu, tiba-tiba muncul air bah dari atas bukit menghanyutkan jenazah Ashim. Hanya ALLooh lah yang tahu kemana jenazah Ashim itu hanyut.


Ketika mendengar kabar tentang Ashim, Sayyidina Umar bin Khoththob berkata, "Sungguh ajaib cara ALLooh menjaga hamba-Nya yang beriman. Ashim pernah bersumpah tidak akan disentuh dan menyentuh orang musyrik pun selama hidupnya. Maka, ALLooh menjaganya setelah ia wafat sebagaimana dia menjaganya semasa hidup." Benar, siapa saja yang benar-benar memegangi janji kepada ALLooh, niscaya Dia akan memenuhi janji-Nya. Semoga ALLooh SWT merohmatinya.

Saturday, 29 August 2020

Sultan Agung Sang Raja Mataram Padukan Kalender Jawa dan Hijriyah

Sultan Agung terlahir dengan nama Raden Mas Jatmika di Kotagede, kasultanan Mataram pada tahun 1593. Dan dikenal pula dengan nama Raden Mas Rangsang. Beliau merupakan putra dari raja Mataram Islam ke dua Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati yang merupakan putri Pangeran Benawa Raja Pajang.



Pada usia 20 tahun beliau diangkat menjadi Raja Mataram menggantikan ayahnya pada tahun 1613 dengan bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma". Pada tahun 1624, setelah penaklukan Madura, beliau berganti gelar menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma". Pada biografi Sultan Agung disebutkan, pada tahun 1640 mengganti gelar menjadi "Sultan Agung Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman". Setahun kemudian mendapat gelar dari pemimpin Ka'bah di Makkah dengan nama "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram".


Sultan Agung, seorang raja yang memiliki kesadaran tentang pentingnya kesatuan wilayah seluruh tanah Jawa. Dalam periode kepemimpinannya banyak terjadi proses penaklukan berbagai wilayah di tanah Jawa. Hampir seluruh Pulau Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon berhasil masuk dalam wilayah kekuasaannya. Begitu pula daerah pesisir seperti Surabaya dan Pulau Madura masuk dalam wilayah pemerintahannya.


Pada masa pemerintahannya, Mataram juga menjalin kerjasama dan hubungan diplomatik dengan kerajaan lain, seperti Makassar yang merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi dalam bentuk perdagangan.


Sultan Agung mempersatukan wilayah bukan hanya dari jalur militer, namun juga melalui strategi kebudayaan. Salah satu karya beliau yang masih dipakai saat ini adalah Kalender Jawa Islam yang merupakan perpaduan kalender Hijriah yang dipakai Jawa pesisir Utara dengan Kalender Saka yang dipakai penduduk pedalaman pulau Jawa. Beliau juga orang yang ahli dalam bidang sastra sebagai tuntutan hidup keturunannya dalam naskah mistik Sastra Gending. Beliau juga meletakkan pondasi perekonomian pada sektor pertanian, sebagai sebuah kewajaran, karena kerajaannya berada pada wilayah pedalaman.


PUNCAK KEJAYAAN

Sultan Agung dikenal sebagai raja terbesar dinasti kerajaan Mataram Islam yang menjadikan kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaan. Pada masa pemerintahannya penjajah Belanda melalui VOC sudah masuk ke tanah Jawa dan berhasil menguasai Jayakarta dan mengganti dengan nama Batavia. Awalnya terjadi hubungan perdagangan antara Kerajaan Mataram dengan VOC. Namun terjadi perbedaan pandangan hingga akhirnya terjadi perseteruan. Sultan Agung memerintahkan untuk menyerang Batavia yang dikuasai VOC pada 27 Agustus 1628 dengan menunjuk Tumenggung Bahurekso (Bupati Kendal) sebagai pimpinannya. Bulan Oktober tiba lagi pasukan Mataram di Batavia dipimpin Pangeran Mandurareja yang merupakan cucu Ki Juru Martani. Total pasukan Mataram saat itu sebesar 10.000 prajurit dan terjadi peperangan di benteng Holandia. Karena kurangnya perbekalan, pasukan Mataram mengalami kekalahan. Bulan Mei 1629, Mataram menginginkan kembali pasukan ke Batavia dipimpin Adipati Ukur, yang disusul pada bulan Juni 1629 oleh pasukan yang dipimpin Adipati Juminah. Total pasukan yang dikirim 14000 prajurit. Untuk mengantisipasi kegagalan pertama, Sultan Agung memerintahkan dibangunnya lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Rupanya terjadi pengkhianatan di dalam pasukan, informasi tersebut bocor, sehingga VOC memusnahkan semua lumbung padi tersebut dan Mataram mengalami kekalahan untuk kedua kalinya. Rencana penyerangan ketiga gagal karena beliau wafat terlebih dahulu.


Sultan Agung merupakan orang yang Egaliter. Guna menghilangkan kesenjangan antara para bangsawan dan pejabat kerajaan, beliau menetapkan penggunaan bahasa bagongan dalam keseharian.


Perubahan struktur bahasa Jawa ini guna menciptakan keguyuban dan menghilangkan ewuh pakewuh yang berlebih untuk mengutarakan pendapat dari para pejabat tingkat bawah ke atasnya atau pula untuk menyampaikan gagasan kepada bangsawan termasuk beliau sebagai seorang raja. Asimilasi budaya juga merambah ke wilayah Sunda, salah satunya ditandai dengan perubahan bahasa Sunda menjadi halus dan sangat halus yang semula hanya ada pada bahasa Jawa.


Biografi Sultan Agung memberikan informasi tentang kemampuan Sultan Agung yang tidak hanya tampak pada luarnya saja, namun juga pada sisi batiniah beliau. Sultan Agung, termasuk orang yang taat beribadah dan tetap pula menghayati nilai-nilai leluhur Jawa. Sultan Agung mengetahui ajalnya sudah dekat pada tahun 1645. Maka pada tahun tersebut, beliau memerintahkan pembangunan Astana Imogiri di Bantul sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja kesultanan Mataram. Pada tahun yang sama, beliau juga menuliskan Sastra Gending sebagai wejangan dan tuntunan kehidupan anak turunnya. Dan betul, kewaskitaannya terbukti, pada tahun 1645 sesuai pembangunan Astana Imogiri beliau wafat dan menjadi penghuni pertama Astana Imogiri. Sultan Agung kemudian mendapat gelar Pahlawan Nasional dengan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.


KALENDER JAWA DAN ISLAM

Tahun Jawa disebut juga tahun Saka yang memberlakukan perhitungan berdasarkan peredaran bulan sebagaimana kalender Hiji. Dalam kalender Jawa ini terdapat perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku. Kalender yang merupakan perpaduan Jawa asli dan Hindu, dengan nama tahunnya Saka, dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 M. Setelah Islam masuk, banyak istilah yang diubah menjadi istilah Islam. Nama hari pada kalender umum di Indonesia dari Ahad sampai Sabtu juga istilah dari Islam.


Pada jaman Kerajaan Mataram, kalender Jawa Islam dibuat yang merupakan sebuah kalender perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu Budha dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Kalender ini dikenal pula dengan Kalender Jawa Sultan Agungan.


Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung menyebarluaskan agama Islam di pulau Jawa dalam suatu wadah negara Mataram memprakarsai untuk mengubah penanggalan Saka.


Sebuah tesis menyatakan bahwa agar penyebaran agama Islam itu tidak memunculkan konflik, maka lewat budayalah penyebaran itu dilakukan. Hal itu sudah dimulai oleh para wali sejak pemerintah Kasultanan Demak pada beberapa Dekade sebelumnya.


Pada saat Sultan Agung Hanyakrakusuma bertahta, raja Mataram yang terkenal patuh beragama Islam itu mengubah kalender di Jawa secara revolusioner. Pada waktu itu kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka 1955, padahal dasar perhitungannya sama sekali berlainan. Kalender Saka mengikuti sistem syamsiyah, yaitu perhitungan perjalanan bumi mengitari matahari. Sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem qomariyah, yakni perjalanan bulan mengitari bumi seperti pada kalender Hijriah.


Perubahan kalender di Jawa itu dimulai hari Jum'at Legi, tanggal 1 Suro tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633. Kebijakan Sultan Agung itu dipuji sebagai tindakan seorang muslim dengan kemahirannya yang tinggi dalam ilmu Falak. Kalender Sultan Agung adalah suatu karya raksasa.


Nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari Jawa dan Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan Qomariah atau candra (lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan hijriah, misalnya Pasa berkaitan dengan puasa Ramadhan, Mulud berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabi'ul Awal, dan Ruwah berkaitan dengan Nisfu Sya'ban dimana dianggap amalan dari ruh selama setahun dicatat.


Nama bulan kalender Jawa adalah:

Sura (Suro) (30 hari), Sapar (29 hari), Mulud (30 hari), Bakda Mulud (Rabi'ul Akhir) (29 hari)

Jumadil Awal (30 hari), Jumadil Akhir (29 hari), Rejeb (30 hari), Ruwah (Arwah/ Sya'ban)

Pasa (Puasa/Siyam/Ramelan) (30hari), Sawal (29 hari), Sela (Dulkangidah/ Apit) (30 hari),

Besar (Dulkahijjah) (29 hari).

Friday, 10 July 2020

Prof. Dr. KH. Muhammad Tholchah Hasan


Karya Nyata, Kyai Multi Dimensi

Prof. Dr. K.H. Muhammad Tolhah Hasan: Wafatnya "Imam Ghazali ...Ulama yang satu ini merupakan ulama multi talenta, atau kyai multi dimensi. Keilmuan dan ketokohannya tidak diragukan. Berbagai jabatan penting baik di pemerintahan maupun organisasi kemasyarakatan pernah diembannya. Di bawah bimbingannya, banyak lembaga pendidikan yang berkembang pesat, bahkan menjadi lembaga pendidikan favorit. Satu di antaranya adalah Madrasah Aliyah Al-Maarif, Singosari.

Beragam Pendidikan
Prof. Dr. KH. Muhammad Tolchan Hasan dilahirkan di Tuban Jawa Timur pada 10 Oktober 1936 . Kyai Tholhah Hasan memperoleh pendidikan tingkat dasar pada Sekolah Rakyat (SR) di Lamongan, selama 6 tahun mulai 1943 sampai dengan 1939. Sore harinya belajar di Madrasah Ibtidaiyah di Sedayu Lawas Lamongan. Pada tahun 1951 beliau meneruskan belajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan berlanjut ke Madrasah Aliyah (MA) Salafiyah Syafi’iyyah Pesantren Tebuireng Jombang.

Selain di Pesantren Tebuireng, Kyai Tolchah juga mengaji di beberapa pesantren. Di antaranya Pesantren Keranji di bawah asuhan Kyai Musthofa yang sekarang bernama Pesantren Tarbiyatul Wathon. Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, saat itu diasuh Kyai Abdul Fatah, beliau hanya sempat mengaji kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab lainnya tetapi tidak sempat khatam, karena beliau hanya sempat belajar selama 6 bulan saja. Kyai Tolchah Hasan juga pernah mondok posoan di Pesantren Al Hidayah Lasem Pati Jawa Tengah, pada waktu itu diasuh oleh Kyai Ma’shum.

Setelah itu beliau pindah ke Malang. Di Malang beliau kuliah pada jurusan ilmu pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Merdeka Malang. Pada tahun 1974 beliau mengambil program sarjana jurusan Ketatanegaraan Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (FKK) sekarang berubah namanya menjadi Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang, hingga lulus.

Meski pendidikan formal pada bidang sosial politik, namun beliau tetap concern dalam mengkaji dan berbicara tentang Pendidikan Islam khususnya, dan Islamic Studies pada umumnya sehingga beliau memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30 April 2005 dengan orasi ilmiahnya yang berjudul “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar Penyelamatan dan Pengembangan Fitrah Manusia”.

Kyai Produktif
Sebagai seorang ulama, ia adalah sosok dengan keilmuan yang mendalam. Penguasaannya terhadap teks-teks agama ditunjukkan dengan aktivitasnya mengajar di pondok pesantren dan di berbagai perguruan tinggi. Sebagai seorang tokoh agama ia juga mampu menciptakan pemikiran-pemikiran segar dalam pemahaman terhadap agama. Buku popular yang ia tulis (di samping banyak karya yang lain) adalah “Ahlussunnah wal Jamaah dalam Tradisi dan Persepsi NU.”

Perannya sebagai ulama juga ditunjukkan dengan eksistensi Masjid Sabilillah di kota Malang. Kiai Tolchah mampu mengembangkan Masjid Sabilillah menjadi sebuah masjid yang tidak hanya menonjol sebagai tempat ibadah, melainkan tempat pengembangan masyarakat dengan memberdayakan masjid  berperan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sekolah mulai tingkat dasar sampai lanjutan, kegiatan sosial ekonomi dengan adanya Lazis Sabilillah, Poliklinik sebagai pusat kesehatan Masyarakat. Semuanya itu dikelola dengan baik di bawah Masjid Sabilillah.

Selain Masjid dan Yayasan Sabilillah, karya nyata Kyai Tolchah adalah Yayasan Maarif Singosari yang kini semakin maju.

Kyai Tolchah termasuk ulama yang produktif dalam menulis karya ilmiah. Sekitar 10 buah buku yang sudah diterbitkan di antaranya, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural (2002), Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar Penyelamatan dan Pengembangan Fitrah Manusia (2005) dan buku terakhir yang ia terbitkan adalah Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (2006).

Aktif Berorganisasi
Kyai Tolchah menjadi menantu Kyai Masykur (mantan Menteri Agama), tokoh yang turut membadani lahirnya Yayasan Maarif Singosari. Kyai Tolchah Hasan dinikahkan dengan Hj. Sholichah Noor, anak angkat KH. Masykur yang sebetulnya masih keponakan beliau.

Dari pernikahannya dengan Hj Sholichah, Kyai Tolchah dikaruniai 3 orang anak, masing-masing adalah Dr. Hj. Fathin Furaida Alumni Fakultas Kedokteran Universitas YARSI (Yayasan Rumah Sakit Islam Jakarta). Ir. Nadya Nafis Alumni Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Ir. Mohammad Hilal Fahmi Alumni Fakultas Teknik Jurusan Tekni Mesin Universitas Islam Malang (UNISMA).

Sejak muda, Kyai Tolchah Hasan memang gemar berorganisasi. Baik di lingkungan pelajar maupun selama menjadi mahasiswa. Beliau juga aktif di Nahdlatul Ulama mulai dari tingkat bawah. Karir beliau di kepengurusan NU dimulai tahun 1960, beliau dipercaya sebagai pimpinan ranting NU Singosari Malang, kemudian di tahun 1963 beliau menjadi ketua Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Singosari Malang, kemudian di tahun 1966 sampai 1969 beliau menjadi ketua Cabang NU Kabupaten Malang. Selanjutnya 1986 sampai 1989 menjadi salah satu ketua Tanfidziyah NU Wilayah Jawa Timur periode 1986-1992. Beliau ditarik ke pusat menjadi salah satu Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU periode 1990-1994 hasil Muktamar NU ke 28. Sejak tahun 1994 beliau aktif di salah satu ketua Rois Syuriah PBNU sampai 2009. Selanjutnya setelah Muktamar ke 30 di Makassar beliau didapuk sebagai Wakil Rois Am mendampingi Kyai Sahal Mahfudz.

Selain di NU, ia juga sebagai Anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pusat sejak tahun 1994 dan juga sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat sejak tahun 2000.

Friday, 3 July 2020

Ibnu Ajurrum Ash-Shonhaji Kitabnya Tidak Basah Meski Terkena Air


Download Jurumiyah Terjemah Lengkap Free for Android - Jurumiyah ...Siapa yang tidak kenal kitab Al-Jurumiyah? Setiap penuntut ilmu syar’i pasti mengenal kitab ini. kitab kecil yang menjadi pegangan ilmu nahwu bagi para pemula. Banyak para penuntut ilmu memulai pelajaran bahasa Arabnya melalui kitab ini. Tidak hanya itu, banyak juga di antara mereka yang menghafalnya. Kitab Al Jurumiyah ini adalah buah karya Syekh Shonhaji yang banyak disebut Ibnu Ajurrum.

Nama lengkapnya adalah Syeikh Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Daawud Al Shonhaji. Beliau lebih masyhur disebut dengan Ibnu Ajurrum. Menurut pendapat lain dibaca dengan Ajarrum. Ash Shonhaji merupakan nisbah (penggolongan) kepada Kabilah (suku) Shonhajah di daerah Maghriby. Al-Ajurrum merupakan bahasa Barbar yang berarti orang yang meninggalkan kemewahan dan memilih laku sufi (Al-Faqir Ash-Shufy).

Nama Syeikh Muhammad bin Ahmad Al Ahdal, pengarang kitab Al Kawakib Ad-Duriyah mengatakan bahwa beliau tidak menemukan orang Barbar yang mengetahui arti kata Al Ajurrum, namun beliau menemukan satu kabilah dari suku Barbar yang bernama Al-Jurrum. Beliau lahir di kota Fas, Maghriby pada tahun 572H/1273M, pada tahun kelahiran beliau, seorang pakar dalam ilmu Nahwu, Ibnu Malik pengarang kitab Al Fiyah, wafat.

Ayah beliau, Muhammad bin Daawud adalah seorang ulama yang memenuhi kehidupan keluarganya dengan berniaga dan menjilid buku-buku. Mulanya Al-Jurrum belajar ilmu Nahwu di Fas, kemudian beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika perjalanan ke Kairo, beliau menyempatkan diri belajar ilmu Nahwu, kepada Syeikh Abu Hayyan salah seorang pakar dalam ilmu Nahwu dari Andalusia pengarang kitab Al Bahrul Muhith hingga mendapatkan ijazah dari Syeikh Abu Hayyan.

Beliau menyusun kitab Matan Al-Ajurrumiyah pada tahun 719H/1319M, sekitar empat tahun sebelum wafatnya. Syekh Al-Maktum yang sezaman dengannya setelah memuji Ibnu Al Ajurrum masih hidup. Ar-Rifa’I dan Al-Haj menyebutkan bahwa Ibnu Ajurrum menulis kitab Nahwunya di hadapan ka’bah. Ash-Shoyuthy dalam kitab Bughyatul Wu’ah menerangkan bahwa Al-Makudy dan Ar-Rifa’I dan para ulama lainnya mengakui kepakaran beliau dalam bidang nahwu selain itu beliau juga seorang yang sholeh dan banyak barokah. Selain kitab Al Jurrumiyah, beliau memiliki beberapa karangan lainnya tentang faroidh sastra dan lainnya.

KISAH MENGARANG JURRUMIYYAH
Ada satu kisah istimewa dalam penulisan kitab Nahwu Al Jurrumiyah. Syeikh Al-Hamidi meriwayatkan, setelah menulis kitab Al-Jurrumiyahnya, Ibnu Al-Jurrum membuang kitabnya ke laut sambil berkata, ”Kalau kitab ini kutulis ikhlas karena ALLooh, niscaya ia tidak akan basah.” Ternyata kitab tersebut kembali ke pantai tanpa basah sedikit pun. Dalam riwayat yang lain disebutkan, ketika Ibnu Ajurrum telah rampung menulis, ia berniat meletakkan kitabnya tersebut di dalam air sambil berkata dalam hati, “Yaa ALLooh, jika saja karyaku ini akan bermanfaat jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak akan luntur sedikit pun. Dalam riwayat lain disebutkan ketika merampungkan karya tulisannya ini beliau bermaksud menenggelamkan kitab beliau ini ke dalam air yang mengalir. Jika kitab tersebut terbawa arus maka berarti kitab tersebut kurang manfaat sedangkan bila ia tetap tidak terbawa arus maka ia akan tetap dikaji orang dan akan besar manfaatnya. Sambil meletakkan kitab tersebut ke dalam air beliau berujar: “Jurru Miyah, jurru Miyah” (Mengalirlah wahai air). Anehnya setelah dilakukan dalam air, kitab tersebut tetap bertahan tidak terbawa oleh arus. SubhanLLooh.

Kitab ini dikenal juga dengan nama Al-Muqoddimah Al-Jurrumiyyah atau Muqoddimah Ibnu Ajurrum. Dinamakan Muqoddimah karena bentuk karangannya adalah Muqoddimah atau dalam bahasa Indonesianya bentuk karangan prosa bukan berupa bait-bait nadzhom.

Selain terkenal sebagai ulama nahwu, beliau juga terkenal sebagai ahli fiqih, sastrawan dan ahli matematika. Di samping itu beliau menggeluti ilmu seni lukis, kaligrafi dan tajwid. Karya yang dipersembahkannya berupa kitab-kitab yang ia karang dalam bentuk arjuzah, (gubahan bentuk syiir memakai bahar rojaz), bait-bait nadzhom dalam ilmu qiro’at dan lain sebagainya. Dua diantara karyanya yang terkenal adalah kitab Faroid al-Ma’ani fi Syarhi Hirzi al-Aman dan kitab ini Al-Muqoddimah Al-Jurrumiyyah.

MADZHAB JURRUMIYYAH
Ibnu Ajurrum, dalam ilmu nahwu merupakan penganut madzhab Nahwu Kuffah, beliau menyebutkan kasrah dan penggantinya dengan istilah Khofadh, sedangkan ahli Bashroh menyebutnya dengan istilah jar, Ibnu Ajurrum berpendapat bahwa fiil amr itu dijazamkan. Ini adalah pendapat madzhab Kufah. Adapun madzhab Bashroh berpendapat bahwa fiil amr itu mabni’ ala as sukun. Ia juga menggolongkan kata kaifama termasuk jawazim, sebagaimana pendapat ahli Kufah. Adapun Ahli Bashorah berpendapat kaifama bukanlah amil Jawazim. Selain itu Ibnu Ajurrum juga menggunakan istilah Asmaul Khomsah, yang terdiri dzu, fuk, hamu, abu, akhu, sedangkan Ahli Bashroh menyebutnya dengan istilah Asmaus Sittah dengan menamakan Hanu.

SYARAH JURRUMIYYAH
Pengarang kitab Kasyfu al-Dzunun menyebutkan bahwa diperkirakan lebih dari sepuluh kitab yang menjadi nadzhom, syarah, dan komentar dari kitab ini. Di antaranya adalah Abdus Salam an-Nabrawy, Ibrohim ar-Riyahy, ‘ala ad-Din al-Alusy dan yang paling terkenal adalah kitab Matnu ad-Durroh al-Bahiyyah karangan Syarafuddin Yahya al-Imrithy. Adapun kitab-kitab yang menjadi syarah kitab ini di antaranya adalah al-mustaqil bi al-mafhumiyyah fi syarhi al fadzi al-ajurrumiyyah yang dikarang oleh Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maliky yang dikenal sebagai ar-Ro’I al-andalusy  an-Nahwy al-Maghriby, ad-Durroh an-Nahwiyyah fi syarhi al-Ajurrumiyyah karangan Muhammad bin Muhammad Abi Ya’la al-Husainy an-Nahwy, al-Jawahir al-Mudhiyyah fi halli Al fadz al-Ajurrumiyyah karangan Ahmad bin Muhammad bin Abdus Salam, ad-Duror al-Mudhiyyah karangan Abu Hasan Muhammad bin ‘Ali al-Maliky asy-Syadziliy, al-Kawakib adh-Dhauiyyah fi halli Alfadz al-Ajurrumiyyah karangan Syeikh Syamsuddin Abil Azam Muhammad bin Muhammad al-Halawy al-Muqoddasy, al-Jawahir as-Sunniyyah fi Syarhi al-Muqoddimah al-Ajurrumiyyah karangan Syeikh Abu Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ubaid bin Syeikh Abdul Fadly bin Muhammad bin Ubaidillah al-Fasy, Syarhu asy-Syeikh Kholid al-Azhary ‘ala Matni al-Jurrumiyyah, Syarhu asy-Syeikh Yazid Abdurrahman bin Ali al-Makudliy an-Nahwy, At-Tuhfah as-Sunniyyah karangan Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Syarah milik Syeikh Hasan al-Kafrowy asy-Syafi’I al-Azhary, Hasyiat al-Jurrumiyyah karangan Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim an-Najdy, Idhoh al-Muqoddimah al-Ajurrumiyyah karangan Syeikh Sholeh bin Muhammad bin Hasan as-Samary, At-Ta’liqot al-Jaliyyah ‘ala Syarhi al-Muqoddimah al-Ajurrumiyyah karangan Muhammad Sholeh al-‘Utsaimin.

Thursday, 25 June 2020

Syekh Muchammad Machfudz bin AbduLLooh At-Tarmasi


Buah Karyanya Jadi Referemsi Di MANCANEGARA

Syaikh Mahfudz at- Tarmasi, al- Muhaddist Nusantara yang Mendunia ...
Banyak ulama besar yang berkiprah di dunia internasional. Utamanya menjadi pengajar di Masjidil Haram. Di antara ulama yang turut mengharumkan nama Indonesia dalam khasanah intelektual Islam adalah Syekh Muchammad Machfudz Termas. Beliau terlahir di Termas, Pacitan, Jawa Timur, pada 12 Jumaadil Ula 1285 H/ 31 Agustus 1868 M, dan bermukim di Mekkah sampai beliau wafat pada 1 Rojab 1338 H/ 20 Mei 1920 M.

PENGEMBARAAN INTELEKTUAL
Syekh Muchammad Machfudz Termas menulis sejarah hidup beliau dan pengembaraan ilmunya dalam Kitab Muhibah zil Fadhli jilid ke-4 yang merupakan salah satu karya beliau. Pada masa mudanya, Syekh Machfudz banyak menimba ilmu kepada ayahnya sendiri, Syekh AbduLLooh bin Abdul Mannan at-Tarmasi. Dari ayahnya beliau mempelajari Syarh al-Ghoyah li Ibni Qosim al-Ghuzza , al Manhaj al-Qowim, Fath al-Mu’in, Fath al-Wahhab, Syarh Syarqowi ‘ala Hikam dan sebagian Tafsir al-Jalalain hingga sampai Surah Yunus.

Setelah banyak belajar kepada ayahnya, Syekh Muchammad Machfudz Termas kemudian merantau ke Semarang untuk belajar kepada Kyai Muchammad Sholeh Darat. Di bawah bimbingan Kyai Sholeh Darat ini, beliau mempelajari Syarh al-Hikam (dua kali khatam), Tafsir al-Jalalain (dua kali khatam), Syarh al-Mardini dan Wasilah ath-Thullab (falak).

Setelah beberapa tahun ngaji kepada Kyai Sholeh Darat, Syekh Muchammad Machfudz Termas meneruskan pengembaraan ilmunya ke Mekkah. Di tanah suci ini, beliau berguru kepada para ulama terkemuka, diantaranya adalah Syekh Akhmad al-Minsyami, dari ulama’ ini, beliau belajar Qiro’ah Ashim dan tajwid, sebagian Syarh ibni al-Qoshih ala asy-Syathibiyah. Dalam waktu yang bersamaan, beliau juga belajar kepada Syeikh Umar bin Barokat asy-Syami, dengan mempelajari Syarh Syuzur az-Zahab li ibni Hisyam. Juga kepada Syekh Musthofa al-‘Afifi, dengan mengkaji kitab Syarh Jam’il Jawamil lil Mahalli dan Mughni al-Labib. Shohih al-Bukhori kepada Sayyid Husein bin Sayyid Muchammad Al Habsyi. Sunan Abi Daawud, Sunan Tirmidzi dan Sunan Nasaa’i kepada Syeikh Muchammad Sa’id  Bashoil. Syarh ‘Uqud al-Juman, dan sebagian kitab asy-Syifa’ lil Qodhi al-‘Iyadh kepada Sayyid Achmad az-Zawawi. Syarh Ibni al-Qoshih, Syarh ad-Durroh al-Mudhi’ah, Syarh Thoibah an-Nasyr fi al-Qiroat al-‘Asyar, ar-Roudh an-Nadhir lil Mutawalli, Syarh ar-Roiyah, Ithof al-Basyar fi al-Qiroat al-‘Arba’ah al-‘Asyar , dan Tafsir al-Baidhowi bi Hasyiyatihi kepada Syekh Muchammad asy-Syarbaini ad-Dimyathi. Dalail al-Khoirot, al-Ahzab, al-Burdah, al-Awwaliyat al-‘Ajluni dan Muwaththo’ Imam Malik kepada Sayyid Muchammad Amin bin Achmad Ridhwan al-Madani serta ulama-ulama terkemuka lainnya, seperti Syeikh Ahmad al-Fathoni dan Syeikh Nawawi al-Bantani, salah satu ulama Indonesia yang juga bermukim di Mekkah. Sedangkan guru utama beliau yang paling banyak mengajarnya pelbagai ilmu secara keseluruhannya ialah Sayyid Abi Bakr bin Sayyid Muchammad asy-Syatho, pengarang kitab I’anatuth Tholibin, Syarah Fathul Mu’in. Konon katanya, salah seorang Ulama Patani, Syekh Achmad Al-Fathoni memiliki hubungan yang erat dengan Sayyid Abi Bakr asy-Syatho, bahkan diceritakan bahwa salah satu karangan  Sayyid Abi Bakr asy-Syatho’ yang berjudul I’anatuth Tholibin Syarh Fathul Mu’in sebelum dicetak terlebih dahulu ditasbih dan ditahqiq oleh Syeikh Achmad al-Fathoni atas perintah Sayyid Abi Bakr asy-Syatho sendiri dari Syekh Muchammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Dan diceritakan pula bahwa yang pertama kali mengajar kitab I’anatuth Tholibin di dalam Masjid al-Haram ialah Syekh Achmad al-Fathoni, semua murid Sayyid Abi Bakr asy-Syatho pada zaman itu termasuk Syekh Muchammad Machfudz Termas hadir dalam halaqoh atau majlis pengajian Syeikh Achmad al-Fathoni itu.

Dalam kaitannya dengan penimbaan ilmu, Syekh Machfudz memiliki karya khusus yang mencatat semua sanad dari setiap ilmu yang beliau pelajari, beliau kumpulkan dalam karyanya yang berjudul Kifayatul Mustafid.

MUKIM DI MEKKAH
Syekh Machfudz tidak kembali ke Nusantara, memilih berkarier di Mekkah. Sewaktu abahnya, Syekh AbduLLooh wafat pada tahun 1894, adiknya, Kyai Dimyathi yang menjadi Kyai di Pondok Termas. Anak-anak Syekh AbduLLooh lainnya adalah Kyai Haji Dahlan yang juga pernah belajar di Mekkah. Sekembali dari Tanah Suci dia diambil menantu oleh Kyai Sholeh Darat Semarang; Kyai Haji Muchammad Bakri yang ahli qiro’ah, dan Kyai Haji Abdur Rozaq, ahli thoriqoh dan mursyid yang punya murid di mana-mana.

Di antara murid-murid Syekh Machfudz yang berasal dari Indonesia adalah Kyai Hasyim Asy’ari, Kyai Bisri Syansuri dan Kyai Abdul Wahhab Hasbullah, yang kelak mendirikan Nahdlatul Ulama di tahun 1926. Beliau juga mengajar sejumlah murid, dan beberapa di antaranya menjadi ulama yang berpengaruh, misalnya Ali al-Banjari, penduduk Mekkah asal Kalimantan Selatan, Muchammad Ma’shum al-Masami, pendiri pesantren Lasem, Jawa Tengah, Abdul Muhit dari Panji Sidarjo, pesantren penting lainnya dekat Surabaya.

PENULIS PRODUKTIF
Muchammad Machfudz at-Termasi boleh dibilang penulis. Dia mengarang sejumlah kitab tentang berbagai disiplin keislaman, seluruhnya ditulis dalam bahasa Arab. Sayang, banyak karyanya yang belum sempat dicetak, dan beberapa diantara bahkan dinyatakan hilang.

Dalam menulis, konon Syekh Machfudz ibarat sungai yang airnya terus mengalir tanpa henti. Gua Hiro menjadi tempatnya mencari inspirasi. Dia biasa menghabiskan waktunya di gua tempat Nabi menerima wahyu-Nya pertama itu. Kecepatan Syekh Machfudz dalam menulis kitab, juga boleh dibilang istimewa. Kabarnya, kitab “Manhaj Dhowi an-Nadzhor” beliau selesaikan dalam 4 bulan 14 hari. Syekh Machfudz mengatakan bahwa kitab ini ditulis ketika berada di Mina dan Arofah.

Syeikh Muchammad Machfudz Termas termasuk salah seorang ulama Nusantara yang banyak menghasilkan karangan dalam bahasa Arab seperti halnya ulama-ulama Nusantara lainnya yang bermukim di Mekkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syeikh Ahmad Khotib Minangkabau dan Syeikh Abdul Chamid Kudus.

Diantara karangan-karangan beliau adalah:
1.       As-Siqoyatul Mardhiyah fi Asamil Kutubil Fiqhiyah li Ashabinas Syafi’iyah. Selesai penulisan pada hari Jum’at, Sya’ban 1313 H. Dicetak oleh Mathba’ah at-Taroqqil Majidiyah al-‘Utsmaniyah, Mekkah (tanpa tahun).
2.       Muhibah zil Fadhli ‘ala Syarh al-‘Allamah Ibnu Hajar Muqoddimah Ba Fadhol, Kitab fiqh empat jilid ini merupakan Syarh atau komentar atas karya AbduLLooh Ba Fadhl “Al-Muqoddimah Al-Hadhromiyyah”. Kitab ini jarang diajarkan di pesantren, lebih banyak digunakan oleh Kyai senior sebagai rujukan dalam penyusunan fatwa oleh para ulama di Jawa. Dicetak oleh Mathba’ah al-‘Amiroh asy-Syarfiyah, Mesir, 1326 H.
3.       Kifayatul Mustahid lima ala minal Asanid, diselesaikan pada hari Selasa, 19 Safar 1320 H. kandungannya membicarakan pelbagai sanad keilmuan Muchammad Machfudz bin AbduLLooh at-Tarmasi/ at-Tirmisi. Dicetak oleh Mathba’ah al-Masyhad al-Husaini, no. 18 Syar’I al-Masyhad al-Husaini Mesir (tanpa tahun). Kitab ini ditashih dan ditahqiq oleh Syeikh Muchammad Yasin bin Isa al-Fadani al-Makki, al-Mudarris Daril ‘Ulumid Diniyah, Mekkah.
4.       Manhaj Zawin Nadzhor fi Syarhi Mandzhumati ‘Ilmil Atsar, diselesaikan pada tahun 1329 H/ 1911 M. Kandungannya membicarakan ilmu Mushtholah Hadits merupakan Syarh Mandzhumah ‘Ilmil Atsar karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Kitab ini merupakan bukti bahwa ulama nusantara mampu menulis ilmu hadits yang demikian tinggi nilainya.
5.       Dua kitabnya di bidang ushul adalah “Nailul Ma’mul”, syarah atas karya Zakariyya Anshori “Lubb Al-Ushul” dan syarahnya “Ghoyat al-wushul”, dan “Is’af al Muthoil”, syarah atas berbagai versi karya Subki “Jam’ al-Jawami”. Sebuah kitab lainnya mengenal fiqh yaitu “Takmilat al-Minhaj al-Qowim” berupa catatan tambahan atas karya Ibn Hajar al-Haitami “Al-Minhaj al-Qowim”.
6.       Al-Khil’atul Fikriyah fi Syarhil Minhatil Khoiriyah, belum diketahui tarikh penulisan. Kandungannya juga membicarakan hadits Syarh Hadits Arbain.
7.       Al-Badrul Munir fi Qiro-atil Ibni Katsir.
8.       Tanwirus Shodr fi Qiro-atil Ibni Amr.
9.       Insyirohul Fawaid fi Qiro-ati Hamzah.
10.   Ta’mimul Manafi’ fi Qiro-ati Nafi’.
11.   Al-Fuad Qiroat al Imam Hamzah.
12.   Tamim al Manafi fi Qiroat al-Imam Nafi’.
13.   Aniyah ath Tholabah bi Syarah Nadzhom ath-Thoyyibah fi Qiroat al Asy’ariyah.
14.   As-Saqoyah al-Mardhiyyah fi Asma’I Kutub Ashshobina al-Syafi’iyyah, kajian atas karya-karya fiqih madzhab Syafi’i dan riwayat para pengarangnya.
15.   Al-Fawaidut Tarmasiyah fi Asamil Qiro-ati Asyariyah, Syeikh Yasin Padang menyebut bahwa kitab ini pernah diterbitkan oleh Mathba’ah al-Majidiyah, Mekkah, tahun 1330 H.
16.   Is’aful Matholi’ Syarhul Badril Lami’.
17.   Al-Minhah al-Khoiriyya

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa karangan Syekh Machfudz mencapai lebih 20 karangan. Mengingat karyanya yang berbagai-bagai itu, tidak berlebihan kiranya jika Syekh Yasin Al-Fadani, Ulama Mekkah asal Padang, Sumatera Barat, yang berpengaruh pada tahun 1970-an, menjuluki Machfudz At-Tarmasi: al-Allamah, al-Muhadits, al-Musnid, al-Faqih, al-Ushulli dan al-Muqri. Yang menarik, kitab-kitab karangan Syeikh Machfudz tidak hanya dipergunakan oleh hampir semua pondok di Indonesia, tapi konon banyak pula yang dipakai sebagai literature wajib pada beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah, seperti di Maroko, Arab Saudi, Iraq dan Negara-negara lainnya.

Bahkan sampai sekarang di antara kitab-kitabnya masih ada yang dipakai dalam pengajian di Masjidil Haram.
Disarikan dari berbagai sumber.

Thursday, 18 June 2020

Shochabiyah RosuuluLLooh, Ummu Ma’bad


Kisah Rasul dan Sahabat - Kisah Ummi Ma'bad Sang Penggembala ...Pemilik Tempat Singgah Saat Nabi Hijrah

Perjalanan hijrah RosuuluLLooh SAW yang disertai sahabat beliau, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA berlangsung diam-diam, menghindari kejaran Quroisy. Perjalanan yang tak ringan. Di tengah payahnya perjalanan Makkah-Madinah, mereka singgah di sebuah tenda, tempat tinggal sepasang suami istri yang selalu memberikan jamuan kepada orang-orang yang singgah di sana. Peristiwa yang menakjubkan pun terjadi dalam kehidupan seorang wanita bernama Ummu Ma’bad.

Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, Atikah bintu Kholid bin Kholif bin Munqidz bin Robi’ah bin Ashrom bin Dhobis bin Harom bin Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Mereka dikaruniai seorang anak yang mereka beri nama Ma’bad. Dengan nama inilah mereka berkunyah mendapat julukan.

Mereka berdua tinggal di Qudaid, antara Makkah dan Madinah. Namun mungkin mereka tak pernah menyangka tempat tinggal mereka akan menjadi tempat yang masyhur dengan singgahnya utusan ALLooh SWT di sana.

Ummu Ma’bad adalah seorang wanita yang tekun dan ulet. Dia biasa duduk di serambi tendanya, memberi makanan dan minuman kepada siapa pun yang melewati tendanya.

Sementara itu, RosuuluLLooh SAW dan Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq RA hendak melanjutkan perjalanan kembali setelah bersembunyi selama tiga hari dalam  gua Tsur. Budak Sayyidina Abu Bakar, ‘Amr bin Fuhairoh menyertai mereka. Juga seorang penunjuk jalan, AbduLLooh bin ‘Uraqith Al-Laitsi yang datang pada hari yang ditentukan membawa dua tunggangan milik RosuuluLLooh SAW dan Sayyidina Abu Bakar. Senin dini hari mereka berangkat.

Selasa, mereka sampai di Qudaid. Berempat mereka singgah di tenda Ummu Ma’bad. RosuuluLLooh SAW dan Sayyidina Abu Bakar meminta daging dan kurma yang dia miliki. Mereka hendak membelinya.
“Kalau kami memiliki sesuatu, tentu kalian tidak akan kesulitan mendapat jamuan.” Kata Ummu Ma’bad. Saat itu adalah masa paceklik, kambing-kambing pun tidak beranak.

RosuuluLLooh SAW melihat seekor kambing betina di samping tenda. “Mengapa kambing ini?” tanya beliau. “Dia tertinggal dari kambing-kambing yang lain karena lemah.” Jawab Ummu Ma’bad. “Apa dia masih mengeluarkan susu?” tanya RosuuluLLooh SAW lagi. “Bahkan dia lebih payah dari itu!” ujar Ummu Ma’bad.
“Apakah engkau izinkan bila kuperah susunya?” tanya RosuuluLLooh SAW. “Boleh, demi ayah dan ibuku,” jawab Ummu Ma’bad. “Bila kau lihat dia masih bisa diperah susunya, perahlah!”

RosuuluLLooh SAW mengusap kantong susu kambing betina itu sambil menyebut nama ALLooh SWT dan berdoa. Seketika itu juga, kantong susu kambing betina itu menggembung dan membesar. RosuuluLLooh SAW meminta bejana pada Ummu Ma’bad, lalu memerah susu kambing itu dalam bejana hingga penuh. RosuuluLLooh SAW menyerahkan bejana itu pada Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad pun meminum susu itu hingga kenyang. Setelah itu beliau memberikannya kepada yang lainnya hingga mereka pun kenyang. Barulah beliau meminum susu itu.

RosuuluLLoh SAW memerah susu kambing itu lagi hingga memenuhi bejana. Beliau tinggalkan bejana yang penuh berisi susu itu untuk Ummu Ma’bad, kemudian mereka melanjutkan perjalanan.

Tak lama kemudian, suami Ummu Ma’bad datang sambil menggiring kambing-kambing yang kurus dan lemah. Ketika melihat bejana berisi susu, ia bertanya keheranan, “Dari mana susu ini? Padahal kambing-kambing kita tidak beranak dan di rumah tak ada kambing yang bisa diperah!”
“Demi ALLooh,” kata Ummu Ma’bad. “Tadi ada seseorang yang penuh berkah lewat di sini. Di antara ucapannya, begini dan begini …”
“Demi ALLooh,” sahut Abu Ma’bad, “Aku yakin, dialah salah seorang Quroisy yang sedang mereka cari-cari! Gambarkan padaku, bagaimana ciri-cirinya, wahai Ummu Ma’bad!”
Ummu Ma’bad pun melukiskan sifat RosuuluLLooh SAW yang dilihatnya, “Dia sungguh elok. Wajahnya berseri-seri. Bagus perawakannya, tidak gemuk, tidak kecil kepalanya, tampan rumawan. Bola matanya hitam legam, bulu matanya panjang. Suaranya agak serak-serak, dan lehernya jenjang. Jenggotnya lebat, matanya jeli bagaikan bercelak. Alisnya panjang melengkung dengan kedua ujung yang bertemu, rambutnya hitam legam. Bila diam, dia tampak berwibawa, bila berbicara, dia tampak ramah. Amat bagus dan elok dilihat dari kejauhan, amat tampan dipandang dan dekat. Manis tutur katanya, tidak sedikit bicaranya, tidak pula berlebihan, ucapannya bak untaian marjan. Perawakannya sedang, tidak dipandang remeh karena pendek, tak pula enggan mata memandangnya karena terlalu tinggi. Dia bagai pertengahan antara dua dahan, dia yang paling tampan dan paling mulia dari ketiga temannya yang lain. Dia memiliki temen-temen yang mengelilinginya. Bila dia berbicara, mereka mendengarkan ucapannya baik-baik. Bila dia memerintahkan sesuatu, mereka dengan segera melayani dan menaati perintahnya. Dia tak pernah bermuka masam dan tak bertele-tele ucapannya.”

Mendengar penuturan itu, Abu Ma’bad berkata yakin, “Demi ALLooh, dia pasti orang Quroisy yang sedang mereka cari-cari. Abu bertekad untuk menemaninya, dan sungguh aku akan melakukannya jika kudapatkan jalan untuk itu!”

Hari  yang  penuh kebaikan dari sisi ALLooh SWT. Pada hari itu, Ummu Ma’bad masuk Islam. Dikisahkan, kambing Ummu Ma’bad yang diusap oleh RosuuluLLooh SAW panjang umurnya. Kambing itu tetap hidup sampai masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khoththob RA tahun 12 H dan selalu mengeluarkan air susunya saat diperah, pagi maupun sore hari.