![](https://cdn-x.sindonews.net/dyn/620/content/2019/06/02/69/1409347/idul-fitri-waktunya-kembali-ke-fitrah-O7u.jpg)
Jadi, jelas bagi ummat Islam
peristiwa spiritual ini merupakan salah satu kekayaan yang tak ternilai
harganya dalam kehidupannya. Alangkah gembira dan bahagianya kita ummat Islam,
yang telah sebulan penuh diberi Rochmah oleh ALLooh SWT dapat melaksanakan
ibadah puasa dengan segala ketentuan dan batasan-batasannya, seluruh khilaf dan
dosa kita kepada ALLooh telah mendapat maghfiroh-Nya.
Hari raya Idul Fitri yang
ditandai dengan memperbanyak membaca takbir, tahlil dan tahmid ditambah sholat
Id, merupakan cetusan rasa syukur bercampur antara haru dan gembira. Perasaan
syukur yang sedalam-dalamnya dari seorang hamba ALLooh yang telah dapat
merampungkan ibadah sebulan penuh di bulan Romadhon, sebagai manifestasi dari hablum minaLLooh. Tak terlewatkan juga
penyambutan itu, ditandai dengan penuh perhatiannya kepada ibadah hablum minannaas, yang telah dibuktikan
melalui pelaksanaan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah.
Dengan seluruh rangkaian ibadah
itu, menjadikan kita kembali ke asal kejadiannya, bagai bayi yang baru lahir,
menjadi fitrah kembali. Bebas dan bersih dari dosa. Bahkan ALLooh dengan bangga
memproklamirkan kepada penghuni langit dan para malaikat, sebagaimana yang
diterangkan dalam suatu hadits Nabi SAW:
“Apabila Hari Raya Fitri tiba, ALLooh mengirim para malaikat, kemudian
mereka turun ke bumi di setiap daerah, lalu mereka berkata: “Hai ummat
Muchammad, keluarlah kamu semua kepada Tuhan Yang Maha Mulia!” Kemudian ketika
mereka (ummat Muchammad) sudah tampak keluar ke tempat sholat (Id) mereka,
ALLooh berfirman: “Hai para malaikat-Ku, saksikanlah olehmu sekalian, bahwa
sesungguhnya telah Kujadikan pahala mereka atas puasanya akan kerelaan-Ku dan
ampunan-Ku.”
Melalui ber-Hari Raya Idul Fitri
yang sarat dengan mutu keimanan itu, ummat Islam menyandang kemenangannya
setelah berjihad melawan hawa nafsu sebagai musuh. Terbukti, berapa banyak dari
kalangan kita yang telah mendapat julukan pahlawan lantaran keberanian dan
kegagahannya dalam medan perang, tetapi tidak berdaya melawan hawa nafsunya
sendiri, tidak berdaya melawan godaan kemewahan dunia. Demikian dahsyatnya
akibat menuruti hawa nafsu itu, telah digambarkan dalam Al-Qur’an surah
Al-Mukminuun ayat 71:
“ Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.”
Gelar kepahlawanan dari melawan
hawa nafsu yang mengandung makna keagamaan itu, kadang-kadang sering
ditindaklanjuti dengan budaya Idul Fitri yang menjauhi kandungan makna sucinya.
Di antaranya terlihat mobilisasi sosial mereka menjelang dan sesudah hari raya
Fitrah.
Makna Idul Fitri direfleksikan
sebagai pesta pora. Pada saat menjelang Idul Fitri, masyarakat
berbondong-bondong ke pusat-pusat perbelanjaan untuk berbagai kepentingan
tertentu, yang bisa jadi kaitannya dengan gengsi di hari raya fitrah. Mereka
sampai mengorbankan waktu, tenaga dan harta dengan mobil agar di hari raya
dapat tampil “wah”.
Kesibukan-kesibukan semacam
itulah yang kadang-kadang justru menggeser kesibukan lain, yang semestinya
dilakukan, seperti memperbanyak khusyu’ sholat tarowih, tadarus Al-Qur’an,
I’tikaf di masjid, dan ibadah-ibadah lainnya untuk menghayati Lailatul Qodar, karena memang di samping
hari raya fitrah merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dengan ibadah-ibadah
di bulan Romadhon.
Karena ibadah-ibadah menjelang
Idul Fitri menjadi mengendor, bahkan mungkin hilang sama sekali, sehingga
dampak yang ditimbulkannya, Idul Fitri tidak lagi bermakna ibadah, namun
dioposisikan sebagai hari pesta pora. Fitrah manusia hanya diukur dari aspek
jasmaniah dan kebendaan, yang ujungnya hanya memberikan peluang pola sikap dan
perilaku arogan atau sombong dan pemborosan, seperti mereka lebih mengutamakan
mendatangi tempat-tempat maksiat sambil menghambur-hamburkan uang daripada
silaturahmi untuk meningkatkan ukhuwwah islamiyahnya.
Kendati memang Idul Fitri adalah
hari raya penuh kegembiraan lantaran manusia telah merasa kembali kepada
fitrahnya, tetapi bukanlah suka cita itu kemudian diwujudkan dengan harta
kekayaan yang melimpah, memaksakan diri harus berbaju mewah, atau menyediakan
makanan besar-besaran, dan berfoya-foya lainnya, melainkan bagaimana menata
diri pada langkah hidup berikutnya yang kian terang menuju ridho Tuhannya.
Dengan kegagalan manusia
memberikan arti dan makna Idul Fitri, akhirnya gagal pula ia memperbaiki dan
menyempurnakan pola kehidupannya dalam lembaran baru setelah sebulan penuh
berpuasa dan saling bermaafan dengan sesamanya di hari raya fitri.
Kalau perilaku budaya negatif
selama sebelum dan sesudah hari raya fitrah itu sudah demikian merajalela di
tengah-tengah kita, maka dengan sesegera mungkin kita harus sadar dan tahu serta
mengamalkan apa hakikat makna Idul Fitri itu sendiri, agar kita termasuk
menjadi ummat yang benar-benar mampu menghidup suburkan sunnah RosuuluLLooh,
sebagaimana dalam sabdanya:
“Barangsiapa menghidupkan sunnahku di kala ummatku telah rusak, maka
baginya pahala sebagaimana pahala seratus orang mati syahid.” [HR. Imam
Al-Baihaqi]
Kembali kepada makna fitrah,
bahwa dengan kemenangannya berjihad melawan hawa nafsu selama bulan Romadhon,
bukan hanya untuk mendapatkan sebuah tempat yang nyaman bagi dirinya di surga
kelak, namun bahkan juga untuk mendapatkan tempat sejahtera bersama manusia
lainnya di dunia ini.
Besarnya zakat fitrah yang wajib
dikeluarkan misalnya, kesejahteraan bersama itu menjadi terwujud. Karena di
sana ada pemerataan rezeki dan pendapatan, sehingga kehidupan bersih dan suci
dari Idul Fitri itu tidak bisa dipisahkan dari pembebasan manusia dari
cengkeraman kemiskinan.
Sungguh pun sedekah yang
diwujudkan oleh zakat fitrah yang penuh berkah itu, tidaklah terbatas sampai di
sini saja. RosuuluLLooh menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah dan
menegakkan ibadah sosial yang lain. Tidak saja dianjurkan mengeluarkan beberapa
liter beras, tetapi harus juga bagi yang mampu untuk selalu memperhatikan dan
memikirkan kesejahteraan keluarga-keluarga miskin dan anak-anak yatim piatu
yang diasuh di berbagai panti asuhan.
Dengan beridul fitri, kita ummat
Islam tidak melulu kembali kepada fitrahnya dengan bermurah hati di bidang
materiil berupa mengeluarkan zakat dan sedekah-sedekah yang lain. Lebih dari
itu, pada hari Idul Fitri kita bahkan harus bermurah hati dalam bidang moral
dan spiritual, seperti: memberi dan meminta maaf, memperkokoh persaudaraan,
mengikis habis perasaan dendam, dengki dan persengketaan.
Akhirnya, dengan berhari raya
fitri kali ini, harapan kita adalah “masyarakat fitrah” mengikuti keseharian
kita di hari-hari berikutnya. Yaitu masyarakat yang aman, damai dan sentosa
dalam keanekaragaman. Yang kaya dan yang miskin, yang cerdas dan yang bodoh,
yang tua dan yang muda, yang memerintah dan yang diperintah tidak ada yang
dihinakan, tidak ada yang merasa ditindas atau diperas, dan tidak ada yang
merasa dianaktirikan. Segenap lapisan masyarakat merasa aman, damai dalam
eksistensinya karena sadar akan posisi dan fungsi masing-masing, di mana yang
satu dengan yang lain saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
No comments:
Post a Comment