Tuesday, 4 June 2019

Persaudaraan dan Persatuan

Menumbuhkan kesadaran untuk membina persaudaraan serta meniadakan perpecahan adalah merupakan pengakuan akan hakikat bahwa manusia ini di hadapan ALLooh sama, sama-sama menjalankan amanat ALLooh di muka bumi ini sesuai dengan pekerjaan dan tugas masing-masing.

Manusia di hadapan ALLooh, baik yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, yang tinggi maupun yang pendek, yang gemuk atau yang kurus, yang kaya atau yang miskin, yang berpangkat atau rakyat jelata, semuanya adalah sama kedudukannya di sisi ALLooh, yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada ALLooh.

ALLooh SWT berfirman dalam Al-Qur’an suraat Al Hujurot ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya ALLooh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dari ayat di atas kita dapat mengambil pengertian bahwa segala bangsa yang ada di seluruh dunia berasal dari keturunan yang satu, yaitu Adam dan Hawa. Perbedaan warna kulit dan suku bangsa bukanlah halangan untuk saling mengenal dan membina persaudaraan, justru dengan perbedaan itulah akan timbul hasrat untuk saling memahami, mengetahui yang akhirnya saling kenal-mengenali, kemudian saling sayang-menyayangi.

Dengan memahami ilustrasi di atas, maka kita akan menyadari bahwa pertikaian, perpecahan hanyalah nafsu yang akan menjerumuskan kita dan menyesatkan ke lembah kehancuran belaka.

ALLooh SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 213, yang artinya: “Manusia adalah ummat yang satu, maka ALLooh mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan memberi peringatan, dan ALLooh menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”

Dari ayat tadi, kita memahami bahwa manusia itu berasal dari satu dan memang hakikatnya adalah satu, kemudian mereka menyebar ke berbagai tempat yang berbeda menyebabkan tumbuhnya adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda, cara berfikir dan tidak mustahil menimbulkan benturan-benturan. Dan dari sinilah kemudian mengundang pertikaian, kemudian ALLooh mengutus para Rosul untuk menyelesaikan dan memberi keputusan di antara perselisihan itu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan oleh ALLooh.

Dengan membawa ketentuan dan kitab dari ALLooh, para Rosul mengajak manusia untuk kembali bersatu dan kembali pula melaksanakan amanat ALLooh yang telah diberikan kepada mereka. Ajakan para Rosul itu tersurat dalam Al-Qur’an surat Al-Qur’an Ali Imron ayat 103: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) ALLooh dan janganlah kamu bercerai-berai.”
Orang-orang yang senantiasa bersatu dan tidak mudah untuk berpecah-belah, maka mereka itulah yang akan mendapatkan petunjuk. ALLooh SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 101 yang artinya: “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada agama ALLooh, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk pada jalan yang lurus.”

Dari dua ayat di atas, kita telah memahami bahwa Islam mengajak ummat manusia seluruh dunia untuk bersatu dalam rangka mewujudkan kemakmuran, berdasarkan keadilan, perdamaian dan saling hormat-menghormati serta persatuan yang selalu diRidhoi dan diRochmati oleh ALLooh.

Dari beberapa keterangan tadi, maka kita pun hendaknya sadar dan memulai untuk meningkatkan persatuan yang tentunya dimulai dari tingkat yang paling rendah, yaitu dari keluarga, kampung, kelurahan, kecamatan, kabupaten, dan seterusnya hingga persatuan dan kedamaian di seluruh dunia dapat tercapai.

Kita hidup di dunia ini sebagai makhluq social, yang tidak dapat hidup sendirian, yang satu membutuhkan yang lain. Oleh karenanya kita tidak boleh berbuat sesuatu yang egois, yang penting diri sendiri beruntung dan tidak peduli dengan kesusahan orang lain.

Jika manusia telah berbuat semaunya sendiri tanpa melihat bagaimana orang lain merugi atau bukan, maka akan hilanglah keutamaan dirinya sebagai manusia, hilanglah rasa sosialnya, akibatnya ia tidak akan dapat dilihat oleh orang lain melainkan hanyalah dirinya sendiri yang dapat melihat dan menilainya.

Islam sangat melarang sifat mementingkan dirinya sendiri, berfoya-foya di atas penderitaan orang lain, bahkan dalam hal jual-beli saja harus sama-sama Ridho, tidak boleh ada salah satu yang merasa dirugikan.

Sifat mementingkan diri sendiri dapat memicu perpecahan. Oleh sebab itulah sifat ini harus kita buang jauh-jauh dari kehidupan kita jika kita menginginkan persatuan tetap teguh.
Jika kita meningingkan kedamaian, maka harus diciptakan persatuan. Jika ingin persatuan dapat tercapai, maka tidak boleh ada manusia yang hanya mementingkan diri sendiri.

Oleh sebab itu, kita harus selalu membina persatuan agar tercipta suatu masyarakat yang damai. Dan kita berdoa kepada ALLooh agar Dia memberi kekuatan kepada kita agar kita dapat mewujudkan persatuan ini.


Aamiiin Yaa Robbal ‘Alamiin

Hakikat Kembali Kepada Fitrah

Dengan ber-Idul Fitri yang telah kita rayakan, bagi kita ummat Islam adalah hari kembali kepada asal kejadiannya yang suci, dan hari kemenangannya melawan hawa nafsu selama bulan Romadhon. Pada hari itu juga, semenjak mulai terbenam matahari di hari sebelumnya sampai pagi 1 Syawal, ummat Islam seluruh dunia menyambut dan memuliakannya dengan mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid.

Jadi, jelas bagi ummat Islam peristiwa spiritual ini merupakan salah satu kekayaan yang tak ternilai harganya dalam kehidupannya. Alangkah gembira dan bahagianya kita ummat Islam, yang telah sebulan penuh diberi Rochmah oleh ALLooh SWT dapat melaksanakan ibadah puasa dengan segala ketentuan dan batasan-batasannya, seluruh khilaf dan dosa kita kepada ALLooh telah mendapat maghfiroh-Nya.

Hari raya Idul Fitri yang ditandai dengan memperbanyak membaca takbir, tahlil dan tahmid ditambah sholat Id, merupakan cetusan rasa syukur bercampur antara haru dan gembira. Perasaan syukur yang sedalam-dalamnya dari seorang hamba ALLooh yang telah dapat merampungkan ibadah sebulan penuh di bulan Romadhon, sebagai manifestasi dari hablum minaLLooh. Tak terlewatkan juga penyambutan itu, ditandai dengan penuh perhatiannya kepada ibadah hablum minannaas, yang telah dibuktikan melalui pelaksanaan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah.

Dengan seluruh rangkaian ibadah itu, menjadikan kita kembali ke asal kejadiannya, bagai bayi yang baru lahir, menjadi fitrah kembali. Bebas dan bersih dari dosa. Bahkan ALLooh dengan bangga memproklamirkan kepada penghuni langit dan para malaikat, sebagaimana yang diterangkan dalam suatu hadits Nabi SAW:
“Apabila Hari Raya Fitri tiba, ALLooh mengirim para malaikat, kemudian mereka turun ke bumi di setiap daerah, lalu mereka berkata: “Hai ummat Muchammad, keluarlah kamu semua kepada Tuhan Yang Maha Mulia!” Kemudian ketika mereka (ummat Muchammad) sudah tampak keluar ke tempat sholat (Id) mereka, ALLooh berfirman: “Hai para malaikat-Ku, saksikanlah olehmu sekalian, bahwa sesungguhnya telah Kujadikan pahala mereka atas puasanya akan kerelaan-Ku dan ampunan-Ku.”

Melalui ber-Hari Raya Idul Fitri yang sarat dengan mutu keimanan itu, ummat Islam menyandang kemenangannya setelah berjihad melawan hawa nafsu sebagai musuh. Terbukti, berapa banyak dari kalangan kita yang telah mendapat julukan pahlawan lantaran keberanian dan kegagahannya dalam medan perang, tetapi tidak berdaya melawan hawa nafsunya sendiri, tidak berdaya melawan godaan kemewahan dunia. Demikian dahsyatnya akibat menuruti hawa nafsu itu, telah digambarkan dalam Al-Qur’an surah Al-Mukminuun ayat 71:
“ Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.”

Gelar kepahlawanan dari melawan hawa nafsu yang mengandung makna keagamaan itu, kadang-kadang sering ditindaklanjuti dengan budaya Idul Fitri yang menjauhi kandungan makna sucinya. Di antaranya terlihat mobilisasi sosial mereka menjelang dan sesudah hari raya Fitrah.

Makna Idul Fitri direfleksikan sebagai pesta pora. Pada saat menjelang Idul Fitri, masyarakat berbondong-bondong ke pusat-pusat perbelanjaan untuk berbagai kepentingan tertentu, yang bisa jadi kaitannya dengan gengsi di hari raya fitrah. Mereka sampai mengorbankan waktu, tenaga dan harta dengan mobil agar di hari raya dapat tampil “wah”.

Kesibukan-kesibukan semacam itulah yang kadang-kadang justru menggeser kesibukan lain, yang semestinya dilakukan, seperti memperbanyak khusyu’ sholat tarowih, tadarus Al-Qur’an, I’tikaf di masjid, dan ibadah-ibadah lainnya untuk menghayati Lailatul Qodar, karena memang di samping hari raya fitrah merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dengan ibadah-ibadah di bulan Romadhon.

Karena ibadah-ibadah menjelang Idul Fitri menjadi mengendor, bahkan mungkin hilang sama sekali, sehingga dampak yang ditimbulkannya, Idul Fitri tidak lagi bermakna ibadah, namun dioposisikan sebagai hari pesta pora. Fitrah manusia hanya diukur dari aspek jasmaniah dan kebendaan, yang ujungnya hanya memberikan peluang pola sikap dan perilaku arogan atau sombong dan pemborosan, seperti mereka lebih mengutamakan mendatangi tempat-tempat maksiat sambil menghambur-hamburkan uang daripada silaturahmi untuk meningkatkan ukhuwwah islamiyahnya.

Kendati memang Idul Fitri adalah hari raya penuh kegembiraan lantaran manusia telah merasa kembali kepada fitrahnya, tetapi bukanlah suka cita itu kemudian diwujudkan dengan harta kekayaan yang melimpah, memaksakan diri harus berbaju mewah, atau menyediakan makanan besar-besaran, dan berfoya-foya lainnya, melainkan bagaimana menata diri pada langkah hidup berikutnya yang kian terang menuju ridho Tuhannya.

Dengan kegagalan manusia memberikan arti dan makna Idul Fitri, akhirnya gagal pula ia memperbaiki dan menyempurnakan pola kehidupannya dalam lembaran baru setelah sebulan penuh berpuasa dan saling bermaafan dengan sesamanya di hari raya fitri.

Kalau perilaku budaya negatif selama sebelum dan sesudah hari raya fitrah itu sudah demikian merajalela di tengah-tengah kita, maka dengan sesegera mungkin kita harus sadar dan tahu serta mengamalkan apa hakikat makna Idul Fitri itu sendiri, agar kita termasuk menjadi ummat yang benar-benar mampu menghidup suburkan sunnah RosuuluLLooh, sebagaimana dalam sabdanya:
“Barangsiapa menghidupkan sunnahku di kala ummatku telah rusak, maka baginya pahala sebagaimana pahala seratus orang mati syahid.” [HR. Imam Al-Baihaqi]

Kembali kepada makna fitrah, bahwa dengan kemenangannya berjihad melawan hawa nafsu selama bulan Romadhon, bukan hanya untuk mendapatkan sebuah tempat yang nyaman bagi dirinya di surga kelak, namun bahkan juga untuk mendapatkan tempat sejahtera bersama manusia lainnya di dunia ini.

Besarnya zakat fitrah yang wajib dikeluarkan misalnya, kesejahteraan bersama itu menjadi terwujud. Karena di sana ada pemerataan rezeki dan pendapatan, sehingga kehidupan bersih dan suci dari Idul Fitri itu tidak bisa dipisahkan dari pembebasan manusia dari cengkeraman kemiskinan.

Sungguh pun sedekah yang diwujudkan oleh zakat fitrah yang penuh berkah itu, tidaklah terbatas sampai di sini saja. RosuuluLLooh menganjurkan agar kita memperbanyak sedekah dan menegakkan ibadah sosial yang lain. Tidak saja dianjurkan mengeluarkan beberapa liter beras, tetapi harus juga bagi yang mampu untuk selalu memperhatikan dan memikirkan kesejahteraan keluarga-keluarga miskin dan anak-anak yatim piatu yang diasuh di berbagai panti asuhan.

Dengan beridul fitri, kita ummat Islam tidak melulu kembali kepada fitrahnya dengan bermurah hati di bidang materiil berupa mengeluarkan zakat dan sedekah-sedekah yang lain. Lebih dari itu, pada hari Idul Fitri kita bahkan harus bermurah hati dalam bidang moral dan spiritual, seperti: memberi dan meminta maaf, memperkokoh persaudaraan, mengikis habis perasaan dendam, dengki dan persengketaan.


Akhirnya, dengan berhari raya fitri kali ini, harapan kita adalah “masyarakat fitrah” mengikuti keseharian kita di hari-hari berikutnya. Yaitu masyarakat yang aman, damai dan sentosa dalam keanekaragaman. Yang kaya dan yang miskin, yang cerdas dan yang bodoh, yang tua dan yang muda, yang memerintah dan yang diperintah tidak ada yang dihinakan, tidak ada yang merasa ditindas atau diperas, dan tidak ada yang merasa dianaktirikan. Segenap lapisan masyarakat merasa aman, damai dalam eksistensinya karena sadar akan posisi dan fungsi masing-masing, di mana yang satu dengan yang lain saling melengkapi dan saling menyempurnakan.

Idul Fitri

Sungguh amat berbahagialah kita dan seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia karena dengan Rochmah ALLooh SWT kita dapat menyelesaikan puasa Romadhon dengan baik insyaaaALLooh. Dan sejak malam hingga hari ini kita mengucapkan takbir dan tachmid, memuji dan mengagungkan ALLooh, begitu juga yang terjadi di seluruh penjuru bumi, hingga yang terdengar hanyalah nama ALLooh, ALLoohu Akbar, ALLoohu Akbar, ALLoohu Akbar WaliLLaahichamd.

RosuuluLLooh SAW bersabda dalam sebuah hadits yang artinya:
Dari sahabat AbduLLooh bin Mas’ud dari RosuuluLLooh SAW bahwasanya beliau bersabda: Jika mereka telah berpuasa pada bulan Romadhon dan telah keluar pada hari raya untuk menghadiri sholat hari raya. ALLooh berfirman: Wahai malaikat-KU! Setiap hamba-KU yang berpuasa pada bulan Romadhon dan telah keluar (sholat hari raya) mereka memperoleh pahalanya. Saksikanlah, sesunguuhnya AKU telah mengampuni mereka,maka memanggillah yang berseru. Wahai ummat Muchammad, kembalilah ke tempat kalian dan telah KUganti kejelekanmu sekalian dengan kebaikan. Maka ALLooh berfirman: Puasamu dan berbukamu karena perintah-KU, maka tegakkanlah engkau akan mendapatkan pengampunan.”

Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama meningkatkan ketaqwaan dan rasa syukur kepada ALLooh SWT dengan mengabdikan diri disertai lantunan istighfar dan tasbich kepadaNYA karena DIA telah mencurahkan Rochmah dan anugerahNYA kepada kita sekalian.

Marilah kita amati dan kita ingat-ingat sehari yang lalu atau sebulan yang lalu atau satu tahun yang lalu kita masih berkumpul dengan keluarga, ayah, ibu, kakek, nenek. Namun mereka kini telah meninggalkan kita. Sekarang coba kita Tanya kepada diri kita sebagai bekal untuk menghadapi kematian. Mungkinkah kita akan dapat menjumpai hari raya pada tahun yang akan datang?

Hanya ALLooh Yang Maha tahu, yang mengetahui apa yang Nampak dan apa pula yang tersembunyi. ALLoohu Akbar, ALLoohu Akbar, ALLoohu Akbar WaliLLaahichamd.

Seiring dan sejalan dengan ibadah puasa pada bulan Romadhon yang terkandung di dalamnya Rochmah dan ampunan, kini meninggalkan kita. Di dalamnya mengandung beberapa hikmah yang harus kita amalkan, baik di dalam bulan Romadhon maupun di luar bulan Romadhon.

1.       Puasa melatih kita untuk selalu sabar dan tabah dalam mengemban masalah dan musibah yang menghampiri kita setiap saat.
2.       Puasa dapat mengingatkan kita untuk selalu ingat kepada fakir miskin yang selalu lapar, sebagaimana lapar yang kita rasakan ketika kita berpuasa. Oleh sebab itu dengan puasa akan timbul kesadaran untuk saling membantu, mengasihi dan menyayangi sesame. ALLoohu Akbar, ALLoohu Akbar, ALLoohu Akbar WaliLLaahichamd

Di Negara kita Indonesia ini masih banyak sekali kaum dhu’afa, mereka membutuhkan bantuan, uluran tangan, karena mereka adalah kaum fakir miskin yang memerlukan santunan. Jangan sampai yang memberikan santunan adalah orang-orang non Islam yang nantinya akan menjadikan mereka memeluk agama selain Islam.

Sebagai muslim sejati yang telah digembleng selama bulan puasa hendaknya kita sensitive dalam urusan santun menyantuni, saling tolong-menolong, bantu-membantu sesamanya, terlebih lagi mereka juga beragama Islam. Oleh sebab itulah, dalam Islam dianjurkan untuk mengeluarkan shodaqoh, zakat fitrah, dan lainnya, sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidina AbduLLooh bin Abbas RAnhuma bahwa RosuuluLLooh SAW bersabda yang artinya:
RosuuluLLooh SAW mewajibkan zakat untuk membersihkan (diri) orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan dari dosa. Juga untuk memberi makan keoada orang-orang miskin.”


Oleh karena itu, kita harus senantiasa membiasakan diri untuk saling tolong-menolong sesame manusia. Yang kaya membantu yang tak punya, yang pandai mengajar yang kurang pandai, dan seterusnya. Dengan demikian akan tercipta suatu tatanan masyarakat yang aman dan damai, yang selalu mendapatkan Rochmah dan karunia dari ALLooh SWT.