Friday, 10 July 2020

Prof. Dr. KH. Muhammad Tholchah Hasan


Karya Nyata, Kyai Multi Dimensi

Prof. Dr. K.H. Muhammad Tolhah Hasan: Wafatnya "Imam Ghazali ...Ulama yang satu ini merupakan ulama multi talenta, atau kyai multi dimensi. Keilmuan dan ketokohannya tidak diragukan. Berbagai jabatan penting baik di pemerintahan maupun organisasi kemasyarakatan pernah diembannya. Di bawah bimbingannya, banyak lembaga pendidikan yang berkembang pesat, bahkan menjadi lembaga pendidikan favorit. Satu di antaranya adalah Madrasah Aliyah Al-Maarif, Singosari.

Beragam Pendidikan
Prof. Dr. KH. Muhammad Tolchan Hasan dilahirkan di Tuban Jawa Timur pada 10 Oktober 1936 . Kyai Tholhah Hasan memperoleh pendidikan tingkat dasar pada Sekolah Rakyat (SR) di Lamongan, selama 6 tahun mulai 1943 sampai dengan 1939. Sore harinya belajar di Madrasah Ibtidaiyah di Sedayu Lawas Lamongan. Pada tahun 1951 beliau meneruskan belajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan berlanjut ke Madrasah Aliyah (MA) Salafiyah Syafi’iyyah Pesantren Tebuireng Jombang.

Selain di Pesantren Tebuireng, Kyai Tolchah juga mengaji di beberapa pesantren. Di antaranya Pesantren Keranji di bawah asuhan Kyai Musthofa yang sekarang bernama Pesantren Tarbiyatul Wathon. Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang, saat itu diasuh Kyai Abdul Fatah, beliau hanya sempat mengaji kitab Fathul Mu’in dan kitab-kitab lainnya tetapi tidak sempat khatam, karena beliau hanya sempat belajar selama 6 bulan saja. Kyai Tolchah Hasan juga pernah mondok posoan di Pesantren Al Hidayah Lasem Pati Jawa Tengah, pada waktu itu diasuh oleh Kyai Ma’shum.

Setelah itu beliau pindah ke Malang. Di Malang beliau kuliah pada jurusan ilmu pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Merdeka Malang. Pada tahun 1974 beliau mengambil program sarjana jurusan Ketatanegaraan Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan (FKK) sekarang berubah namanya menjadi Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya Malang, hingga lulus.

Meski pendidikan formal pada bidang sosial politik, namun beliau tetap concern dalam mengkaji dan berbicara tentang Pendidikan Islam khususnya, dan Islamic Studies pada umumnya sehingga beliau memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30 April 2005 dengan orasi ilmiahnya yang berjudul “Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar Penyelamatan dan Pengembangan Fitrah Manusia”.

Kyai Produktif
Sebagai seorang ulama, ia adalah sosok dengan keilmuan yang mendalam. Penguasaannya terhadap teks-teks agama ditunjukkan dengan aktivitasnya mengajar di pondok pesantren dan di berbagai perguruan tinggi. Sebagai seorang tokoh agama ia juga mampu menciptakan pemikiran-pemikiran segar dalam pemahaman terhadap agama. Buku popular yang ia tulis (di samping banyak karya yang lain) adalah “Ahlussunnah wal Jamaah dalam Tradisi dan Persepsi NU.”

Perannya sebagai ulama juga ditunjukkan dengan eksistensi Masjid Sabilillah di kota Malang. Kiai Tolchah mampu mengembangkan Masjid Sabilillah menjadi sebuah masjid yang tidak hanya menonjol sebagai tempat ibadah, melainkan tempat pengembangan masyarakat dengan memberdayakan masjid  berperan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya sekolah mulai tingkat dasar sampai lanjutan, kegiatan sosial ekonomi dengan adanya Lazis Sabilillah, Poliklinik sebagai pusat kesehatan Masyarakat. Semuanya itu dikelola dengan baik di bawah Masjid Sabilillah.

Selain Masjid dan Yayasan Sabilillah, karya nyata Kyai Tolchah adalah Yayasan Maarif Singosari yang kini semakin maju.

Kyai Tolchah termasuk ulama yang produktif dalam menulis karya ilmiah. Sekitar 10 buah buku yang sudah diterbitkan di antaranya, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural (2002), Pendidikan Islam Sebagai Upaya Sadar Penyelamatan dan Pengembangan Fitrah Manusia (2005) dan buku terakhir yang ia terbitkan adalah Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (2006).

Aktif Berorganisasi
Kyai Tolchah menjadi menantu Kyai Masykur (mantan Menteri Agama), tokoh yang turut membadani lahirnya Yayasan Maarif Singosari. Kyai Tolchah Hasan dinikahkan dengan Hj. Sholichah Noor, anak angkat KH. Masykur yang sebetulnya masih keponakan beliau.

Dari pernikahannya dengan Hj Sholichah, Kyai Tolchah dikaruniai 3 orang anak, masing-masing adalah Dr. Hj. Fathin Furaida Alumni Fakultas Kedokteran Universitas YARSI (Yayasan Rumah Sakit Islam Jakarta). Ir. Nadya Nafis Alumni Fakultas Peternakan Jurusan Produksi Ternak Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Ir. Mohammad Hilal Fahmi Alumni Fakultas Teknik Jurusan Tekni Mesin Universitas Islam Malang (UNISMA).

Sejak muda, Kyai Tolchah Hasan memang gemar berorganisasi. Baik di lingkungan pelajar maupun selama menjadi mahasiswa. Beliau juga aktif di Nahdlatul Ulama mulai dari tingkat bawah. Karir beliau di kepengurusan NU dimulai tahun 1960, beliau dipercaya sebagai pimpinan ranting NU Singosari Malang, kemudian di tahun 1963 beliau menjadi ketua Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Singosari Malang, kemudian di tahun 1966 sampai 1969 beliau menjadi ketua Cabang NU Kabupaten Malang. Selanjutnya 1986 sampai 1989 menjadi salah satu ketua Tanfidziyah NU Wilayah Jawa Timur periode 1986-1992. Beliau ditarik ke pusat menjadi salah satu Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU periode 1990-1994 hasil Muktamar NU ke 28. Sejak tahun 1994 beliau aktif di salah satu ketua Rois Syuriah PBNU sampai 2009. Selanjutnya setelah Muktamar ke 30 di Makassar beliau didapuk sebagai Wakil Rois Am mendampingi Kyai Sahal Mahfudz.

Selain di NU, ia juga sebagai Anggota Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pusat sejak tahun 1994 dan juga sebagai Wakil Ketua Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat sejak tahun 2000.

Friday, 3 July 2020

Ibnu Ajurrum Ash-Shonhaji Kitabnya Tidak Basah Meski Terkena Air


Download Jurumiyah Terjemah Lengkap Free for Android - Jurumiyah ...Siapa yang tidak kenal kitab Al-Jurumiyah? Setiap penuntut ilmu syar’i pasti mengenal kitab ini. kitab kecil yang menjadi pegangan ilmu nahwu bagi para pemula. Banyak para penuntut ilmu memulai pelajaran bahasa Arabnya melalui kitab ini. Tidak hanya itu, banyak juga di antara mereka yang menghafalnya. Kitab Al Jurumiyah ini adalah buah karya Syekh Shonhaji yang banyak disebut Ibnu Ajurrum.

Nama lengkapnya adalah Syeikh Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin Daawud Al Shonhaji. Beliau lebih masyhur disebut dengan Ibnu Ajurrum. Menurut pendapat lain dibaca dengan Ajarrum. Ash Shonhaji merupakan nisbah (penggolongan) kepada Kabilah (suku) Shonhajah di daerah Maghriby. Al-Ajurrum merupakan bahasa Barbar yang berarti orang yang meninggalkan kemewahan dan memilih laku sufi (Al-Faqir Ash-Shufy).

Nama Syeikh Muhammad bin Ahmad Al Ahdal, pengarang kitab Al Kawakib Ad-Duriyah mengatakan bahwa beliau tidak menemukan orang Barbar yang mengetahui arti kata Al Ajurrum, namun beliau menemukan satu kabilah dari suku Barbar yang bernama Al-Jurrum. Beliau lahir di kota Fas, Maghriby pada tahun 572H/1273M, pada tahun kelahiran beliau, seorang pakar dalam ilmu Nahwu, Ibnu Malik pengarang kitab Al Fiyah, wafat.

Ayah beliau, Muhammad bin Daawud adalah seorang ulama yang memenuhi kehidupan keluarganya dengan berniaga dan menjilid buku-buku. Mulanya Al-Jurrum belajar ilmu Nahwu di Fas, kemudian beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika perjalanan ke Kairo, beliau menyempatkan diri belajar ilmu Nahwu, kepada Syeikh Abu Hayyan salah seorang pakar dalam ilmu Nahwu dari Andalusia pengarang kitab Al Bahrul Muhith hingga mendapatkan ijazah dari Syeikh Abu Hayyan.

Beliau menyusun kitab Matan Al-Ajurrumiyah pada tahun 719H/1319M, sekitar empat tahun sebelum wafatnya. Syekh Al-Maktum yang sezaman dengannya setelah memuji Ibnu Al Ajurrum masih hidup. Ar-Rifa’I dan Al-Haj menyebutkan bahwa Ibnu Ajurrum menulis kitab Nahwunya di hadapan ka’bah. Ash-Shoyuthy dalam kitab Bughyatul Wu’ah menerangkan bahwa Al-Makudy dan Ar-Rifa’I dan para ulama lainnya mengakui kepakaran beliau dalam bidang nahwu selain itu beliau juga seorang yang sholeh dan banyak barokah. Selain kitab Al Jurrumiyah, beliau memiliki beberapa karangan lainnya tentang faroidh sastra dan lainnya.

KISAH MENGARANG JURRUMIYYAH
Ada satu kisah istimewa dalam penulisan kitab Nahwu Al Jurrumiyah. Syeikh Al-Hamidi meriwayatkan, setelah menulis kitab Al-Jurrumiyahnya, Ibnu Al-Jurrum membuang kitabnya ke laut sambil berkata, ”Kalau kitab ini kutulis ikhlas karena ALLooh, niscaya ia tidak akan basah.” Ternyata kitab tersebut kembali ke pantai tanpa basah sedikit pun. Dalam riwayat yang lain disebutkan, ketika Ibnu Ajurrum telah rampung menulis, ia berniat meletakkan kitabnya tersebut di dalam air sambil berkata dalam hati, “Yaa ALLooh, jika saja karyaku ini akan bermanfaat jadikanlah tinta yang aku pakai untuk menulis ini tidak akan luntur sedikit pun. Dalam riwayat lain disebutkan ketika merampungkan karya tulisannya ini beliau bermaksud menenggelamkan kitab beliau ini ke dalam air yang mengalir. Jika kitab tersebut terbawa arus maka berarti kitab tersebut kurang manfaat sedangkan bila ia tetap tidak terbawa arus maka ia akan tetap dikaji orang dan akan besar manfaatnya. Sambil meletakkan kitab tersebut ke dalam air beliau berujar: “Jurru Miyah, jurru Miyah” (Mengalirlah wahai air). Anehnya setelah dilakukan dalam air, kitab tersebut tetap bertahan tidak terbawa oleh arus. SubhanLLooh.

Kitab ini dikenal juga dengan nama Al-Muqoddimah Al-Jurrumiyyah atau Muqoddimah Ibnu Ajurrum. Dinamakan Muqoddimah karena bentuk karangannya adalah Muqoddimah atau dalam bahasa Indonesianya bentuk karangan prosa bukan berupa bait-bait nadzhom.

Selain terkenal sebagai ulama nahwu, beliau juga terkenal sebagai ahli fiqih, sastrawan dan ahli matematika. Di samping itu beliau menggeluti ilmu seni lukis, kaligrafi dan tajwid. Karya yang dipersembahkannya berupa kitab-kitab yang ia karang dalam bentuk arjuzah, (gubahan bentuk syiir memakai bahar rojaz), bait-bait nadzhom dalam ilmu qiro’at dan lain sebagainya. Dua diantara karyanya yang terkenal adalah kitab Faroid al-Ma’ani fi Syarhi Hirzi al-Aman dan kitab ini Al-Muqoddimah Al-Jurrumiyyah.

MADZHAB JURRUMIYYAH
Ibnu Ajurrum, dalam ilmu nahwu merupakan penganut madzhab Nahwu Kuffah, beliau menyebutkan kasrah dan penggantinya dengan istilah Khofadh, sedangkan ahli Bashroh menyebutnya dengan istilah jar, Ibnu Ajurrum berpendapat bahwa fiil amr itu dijazamkan. Ini adalah pendapat madzhab Kufah. Adapun madzhab Bashroh berpendapat bahwa fiil amr itu mabni’ ala as sukun. Ia juga menggolongkan kata kaifama termasuk jawazim, sebagaimana pendapat ahli Kufah. Adapun Ahli Bashorah berpendapat kaifama bukanlah amil Jawazim. Selain itu Ibnu Ajurrum juga menggunakan istilah Asmaul Khomsah, yang terdiri dzu, fuk, hamu, abu, akhu, sedangkan Ahli Bashroh menyebutnya dengan istilah Asmaus Sittah dengan menamakan Hanu.

SYARAH JURRUMIYYAH
Pengarang kitab Kasyfu al-Dzunun menyebutkan bahwa diperkirakan lebih dari sepuluh kitab yang menjadi nadzhom, syarah, dan komentar dari kitab ini. Di antaranya adalah Abdus Salam an-Nabrawy, Ibrohim ar-Riyahy, ‘ala ad-Din al-Alusy dan yang paling terkenal adalah kitab Matnu ad-Durroh al-Bahiyyah karangan Syarafuddin Yahya al-Imrithy. Adapun kitab-kitab yang menjadi syarah kitab ini di antaranya adalah al-mustaqil bi al-mafhumiyyah fi syarhi al fadzi al-ajurrumiyyah yang dikarang oleh Abi Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Maliky yang dikenal sebagai ar-Ro’I al-andalusy  an-Nahwy al-Maghriby, ad-Durroh an-Nahwiyyah fi syarhi al-Ajurrumiyyah karangan Muhammad bin Muhammad Abi Ya’la al-Husainy an-Nahwy, al-Jawahir al-Mudhiyyah fi halli Al fadz al-Ajurrumiyyah karangan Ahmad bin Muhammad bin Abdus Salam, ad-Duror al-Mudhiyyah karangan Abu Hasan Muhammad bin ‘Ali al-Maliky asy-Syadziliy, al-Kawakib adh-Dhauiyyah fi halli Alfadz al-Ajurrumiyyah karangan Syeikh Syamsuddin Abil Azam Muhammad bin Muhammad al-Halawy al-Muqoddasy, al-Jawahir as-Sunniyyah fi Syarhi al-Muqoddimah al-Ajurrumiyyah karangan Syeikh Abu Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ubaid bin Syeikh Abdul Fadly bin Muhammad bin Ubaidillah al-Fasy, Syarhu asy-Syeikh Kholid al-Azhary ‘ala Matni al-Jurrumiyyah, Syarhu asy-Syeikh Yazid Abdurrahman bin Ali al-Makudliy an-Nahwy, At-Tuhfah as-Sunniyyah karangan Syeikh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Syarah milik Syeikh Hasan al-Kafrowy asy-Syafi’I al-Azhary, Hasyiat al-Jurrumiyyah karangan Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim an-Najdy, Idhoh al-Muqoddimah al-Ajurrumiyyah karangan Syeikh Sholeh bin Muhammad bin Hasan as-Samary, At-Ta’liqot al-Jaliyyah ‘ala Syarhi al-Muqoddimah al-Ajurrumiyyah karangan Muhammad Sholeh al-‘Utsaimin.