Saturday, 29 August 2020

Sultan Agung Sang Raja Mataram Padukan Kalender Jawa dan Hijriyah

Sultan Agung terlahir dengan nama Raden Mas Jatmika di Kotagede, kasultanan Mataram pada tahun 1593. Dan dikenal pula dengan nama Raden Mas Rangsang. Beliau merupakan putra dari raja Mataram Islam ke dua Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati yang merupakan putri Pangeran Benawa Raja Pajang.



Pada usia 20 tahun beliau diangkat menjadi Raja Mataram menggantikan ayahnya pada tahun 1613 dengan bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma". Pada tahun 1624, setelah penaklukan Madura, beliau berganti gelar menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma". Pada biografi Sultan Agung disebutkan, pada tahun 1640 mengganti gelar menjadi "Sultan Agung Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman". Setahun kemudian mendapat gelar dari pemimpin Ka'bah di Makkah dengan nama "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram".


Sultan Agung, seorang raja yang memiliki kesadaran tentang pentingnya kesatuan wilayah seluruh tanah Jawa. Dalam periode kepemimpinannya banyak terjadi proses penaklukan berbagai wilayah di tanah Jawa. Hampir seluruh Pulau Jawa dari Pasuruan sampai Cirebon berhasil masuk dalam wilayah kekuasaannya. Begitu pula daerah pesisir seperti Surabaya dan Pulau Madura masuk dalam wilayah pemerintahannya.


Pada masa pemerintahannya, Mataram juga menjalin kerjasama dan hubungan diplomatik dengan kerajaan lain, seperti Makassar yang merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi dalam bentuk perdagangan.


Sultan Agung mempersatukan wilayah bukan hanya dari jalur militer, namun juga melalui strategi kebudayaan. Salah satu karya beliau yang masih dipakai saat ini adalah Kalender Jawa Islam yang merupakan perpaduan kalender Hijriah yang dipakai Jawa pesisir Utara dengan Kalender Saka yang dipakai penduduk pedalaman pulau Jawa. Beliau juga orang yang ahli dalam bidang sastra sebagai tuntutan hidup keturunannya dalam naskah mistik Sastra Gending. Beliau juga meletakkan pondasi perekonomian pada sektor pertanian, sebagai sebuah kewajaran, karena kerajaannya berada pada wilayah pedalaman.


PUNCAK KEJAYAAN

Sultan Agung dikenal sebagai raja terbesar dinasti kerajaan Mataram Islam yang menjadikan kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaan. Pada masa pemerintahannya penjajah Belanda melalui VOC sudah masuk ke tanah Jawa dan berhasil menguasai Jayakarta dan mengganti dengan nama Batavia. Awalnya terjadi hubungan perdagangan antara Kerajaan Mataram dengan VOC. Namun terjadi perbedaan pandangan hingga akhirnya terjadi perseteruan. Sultan Agung memerintahkan untuk menyerang Batavia yang dikuasai VOC pada 27 Agustus 1628 dengan menunjuk Tumenggung Bahurekso (Bupati Kendal) sebagai pimpinannya. Bulan Oktober tiba lagi pasukan Mataram di Batavia dipimpin Pangeran Mandurareja yang merupakan cucu Ki Juru Martani. Total pasukan Mataram saat itu sebesar 10.000 prajurit dan terjadi peperangan di benteng Holandia. Karena kurangnya perbekalan, pasukan Mataram mengalami kekalahan. Bulan Mei 1629, Mataram menginginkan kembali pasukan ke Batavia dipimpin Adipati Ukur, yang disusul pada bulan Juni 1629 oleh pasukan yang dipimpin Adipati Juminah. Total pasukan yang dikirim 14000 prajurit. Untuk mengantisipasi kegagalan pertama, Sultan Agung memerintahkan dibangunnya lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Rupanya terjadi pengkhianatan di dalam pasukan, informasi tersebut bocor, sehingga VOC memusnahkan semua lumbung padi tersebut dan Mataram mengalami kekalahan untuk kedua kalinya. Rencana penyerangan ketiga gagal karena beliau wafat terlebih dahulu.


Sultan Agung merupakan orang yang Egaliter. Guna menghilangkan kesenjangan antara para bangsawan dan pejabat kerajaan, beliau menetapkan penggunaan bahasa bagongan dalam keseharian.


Perubahan struktur bahasa Jawa ini guna menciptakan keguyuban dan menghilangkan ewuh pakewuh yang berlebih untuk mengutarakan pendapat dari para pejabat tingkat bawah ke atasnya atau pula untuk menyampaikan gagasan kepada bangsawan termasuk beliau sebagai seorang raja. Asimilasi budaya juga merambah ke wilayah Sunda, salah satunya ditandai dengan perubahan bahasa Sunda menjadi halus dan sangat halus yang semula hanya ada pada bahasa Jawa.


Biografi Sultan Agung memberikan informasi tentang kemampuan Sultan Agung yang tidak hanya tampak pada luarnya saja, namun juga pada sisi batiniah beliau. Sultan Agung, termasuk orang yang taat beribadah dan tetap pula menghayati nilai-nilai leluhur Jawa. Sultan Agung mengetahui ajalnya sudah dekat pada tahun 1645. Maka pada tahun tersebut, beliau memerintahkan pembangunan Astana Imogiri di Bantul sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja kesultanan Mataram. Pada tahun yang sama, beliau juga menuliskan Sastra Gending sebagai wejangan dan tuntunan kehidupan anak turunnya. Dan betul, kewaskitaannya terbukti, pada tahun 1645 sesuai pembangunan Astana Imogiri beliau wafat dan menjadi penghuni pertama Astana Imogiri. Sultan Agung kemudian mendapat gelar Pahlawan Nasional dengan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.


KALENDER JAWA DAN ISLAM

Tahun Jawa disebut juga tahun Saka yang memberlakukan perhitungan berdasarkan peredaran bulan sebagaimana kalender Hiji. Dalam kalender Jawa ini terdapat perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku. Kalender yang merupakan perpaduan Jawa asli dan Hindu, dengan nama tahunnya Saka, dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 M. Setelah Islam masuk, banyak istilah yang diubah menjadi istilah Islam. Nama hari pada kalender umum di Indonesia dari Ahad sampai Sabtu juga istilah dari Islam.


Pada jaman Kerajaan Mataram, kalender Jawa Islam dibuat yang merupakan sebuah kalender perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu Budha dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Kalender ini dikenal pula dengan Kalender Jawa Sultan Agungan.


Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung menyebarluaskan agama Islam di pulau Jawa dalam suatu wadah negara Mataram memprakarsai untuk mengubah penanggalan Saka.


Sebuah tesis menyatakan bahwa agar penyebaran agama Islam itu tidak memunculkan konflik, maka lewat budayalah penyebaran itu dilakukan. Hal itu sudah dimulai oleh para wali sejak pemerintah Kasultanan Demak pada beberapa Dekade sebelumnya.


Pada saat Sultan Agung Hanyakrakusuma bertahta, raja Mataram yang terkenal patuh beragama Islam itu mengubah kalender di Jawa secara revolusioner. Pada waktu itu kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka 1955, padahal dasar perhitungannya sama sekali berlainan. Kalender Saka mengikuti sistem syamsiyah, yaitu perhitungan perjalanan bumi mengitari matahari. Sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem qomariyah, yakni perjalanan bulan mengitari bumi seperti pada kalender Hijriah.


Perubahan kalender di Jawa itu dimulai hari Jum'at Legi, tanggal 1 Suro tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633. Kebijakan Sultan Agung itu dipuji sebagai tindakan seorang muslim dengan kemahirannya yang tinggi dalam ilmu Falak. Kalender Sultan Agung adalah suatu karya raksasa.


Nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari Jawa dan Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan Qomariah atau candra (lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan hijriah, misalnya Pasa berkaitan dengan puasa Ramadhan, Mulud berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabi'ul Awal, dan Ruwah berkaitan dengan Nisfu Sya'ban dimana dianggap amalan dari ruh selama setahun dicatat.


Nama bulan kalender Jawa adalah:

Sura (Suro) (30 hari), Sapar (29 hari), Mulud (30 hari), Bakda Mulud (Rabi'ul Akhir) (29 hari)

Jumadil Awal (30 hari), Jumadil Akhir (29 hari), Rejeb (30 hari), Ruwah (Arwah/ Sya'ban)

Pasa (Puasa/Siyam/Ramelan) (30hari), Sawal (29 hari), Sela (Dulkangidah/ Apit) (30 hari),

Besar (Dulkahijjah) (29 hari).